Pernahkah anda mendengar kisah tentang Kevin Carter, seorang fotografer yang meraih penghargaan bergengsi Pulitzer 1994 lantaran fotonya yang fenomenal, tentang seorang anak Sudan yang berjuang keras menuju tempat pembagian makanan sementara di belakangnya ada seekor burung pemakan bangkai yang hendak memakannya?
Pernahkah pula anda mendengar kisah tentang seorang ibu yang merebus sebuah batu besar demi menenangkan anak-anaknya yang sedang kelaparan? Lalu setiap kali anak itu bertanya ibunya selalu menjawab dengan nada serupa, “Tunggu, sebentar lagi! Makanannya belum matang nak!”. Berkali-kali anak-anaknya bertanya, berkali-kali pula ibunya terpaksa berbohong lantaran ketiadaannya pangan yang dimiliki. Hingga pada akhirnya si ibu harus berpikir keras demi nasib esok karena anak-anaknya sudah tertidur lelap.
Kebanyakan orang mendefinisikan terorisme adalah tindak kejahatan manusia yang bisa mengancam keamanan dan pertahanan suatu negara, seperti kasus bom Bali misalnya. Padahal jika kita berpikir lebih terbuka, arti ‘terorisme’ jauh lebih luas daripada itu. Sesuatu yang bisa mengancam serta meneror bangsa ini juga bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme, termasuk masalah kelaparan.
Jika tidak percaya, lihatlah berita-berita masa kini dan amatilah apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di luar sana! Ribuan orang berbondong-bondong hanya demi mendapatkan nasi aking, anak-anak menangis histeris hingga bayi-bayi mungil yang hanya bisa memamerkan gigi-giginya yang belum tumbuh sembari mendengar jeritan suara lambung. Terpaksa mereka hanya bisa memakan nasi yang dicampur garam, air tajin dan bahkan jika tidak memungkinkan, mereka hanya akan memakan ‘bualan dan janji-janji kosong’ dari para penguasa serakah saja.
Kelaparan adalah bukti dari masih adanya terorisme di negeri ini. Ia akan tetap melekat dalam identitas bangsa selama kita terus-terusan duduk manis di kursi malas. Buktinya kasus kelaparan dan malnutrisi masih menjadi teror yang mengerikan di negeri ini. Bahkan telah menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian yang serius. Tidak ingatkah kita betapa susahnya generasi terdahulu demi mendapatkan makanan lantaran hasil panennya selalu diambil oleh para penjajah? Lantas mengapa ketika sudah merdeka keadaan itu kembali terjadi?
Jika masalah ini terus dibiarkan, maka jangan harap kita bisa melihat anak-anak alias generasi-generasi penerus dapat hidup dengan makmur. Kelaparan tak ubahnya ulat-ulat liar di sebuah kebun yang tak terurus dan anak-anak ibarat dedaunannya. Mereka menggerogoti kaum-kaum papa, memupuskan cita-cita anak bangsa dan bahkan menambah daftar panjang perjalanan buruk bangsa ini. Nah, jika sudah begini, apa yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus khususnya dalam menangani masalah kelaparan dan malnutrisi?
Semakin terpenuhinya nutrisi di suatu negara maka semakin baik keadaan negara itu. Sebaliknya, semakin minimnya asupan nutrisi maka semakin memprihatinkan pula keadaannya. Bersyukurlah bagi anda yang bisa makan enak hari ini. Sebab apa yang bisa anda makan hari ini belum tentu bisa dimakan pula oleh saudara-saudara kita di luar sana.
Pada April 2010 saja misalnya, hanya satu dari empat kabupaten di NTT saja yang relatif makmur, yaitu kabupaten Sumba Barat Daya. Sementara Tiga kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur mengalami krisis pangan. Hal ini diakibatkan oleh musim kemarau yang datang lebih cepat sehingga mereka gagal panen. Alhasil, terpaksa sekitar 30.000 warga 121 desa dari seluruhnya 140 desa di kabupaten Sumba Timur memakan pisang karena tidak memiliki beras. Mungkin kita masih bisa tertawa lega pada saat itu. Namun bagaimana dengan keadaan anak-anak? Di saat mereka membutuhkan asupan gizi yang cukup, mereka malah harus puas dengan bualan para penguasa serakah. Sungguh ironis!
Jika ada genting yang bocor, sudah pasti kita memperbaikinya. Jika tidak, tentu akan ada rembesan-rembesan air yang masuk ke dalam rumah ketika hujan turun. Akibatnya, rumah menjadi basah dan keadaannya menjadi lebih parah. Sama halnya dengan kelaparan dan malnutrisi, maka sudah saatnya kita untuk bertindak. Selayaknya kita mengantisipasinya sebelum ‘rumah’ kita menjadi lebih buruk.
Menurut saya akar dari permasalahan ini adalah kesadaran. Khususnya terhadap ASI. Sungguh naas. Pemahaman masyarakat kita terhadap betapa pentingnya ASI masih tergolong minim. Padahal dalam dalam website YKAI dijelaskan bahwa berdasarkan rekomendasi dari UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ASI eksklusif - yang berarti hanya memberikan ASI tanpa tambahan makanan atau cairan - selama enam bulan pertama dapat menyelamatkan nyawa setara lebih dari 30.000 anak Indonesia setiap tahunnya. Pemberian ASI sampai dengan usia dua tahun, dengan tambahan makanan pendamping, dapat juga membantu pertumbuhan anak-anak mencapai potensi mereka secara optimal. Maka dari itu kiranya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat perihal penekanan angka malnutrisi perlu ditingkatkan lagi.
Kelaparan erat kaitannya dengan rendahnya perekonomian rakyat. Kiranya membeli produk dalam negeri adalah salah satu solusi yang bisa kita lakukan. Minimal dapat membantu saudara-saudara kita dalam meningkatkan produktivitas produk dalam negeri. Sebab hal itu berpengaruh terhadap perekonomian rakyat sehingga pada akhirnya akan berdampak pada penurunan angka kelaparan dan malnutrisi di Indonesia.
Pemerintah juga harus bertindak proaktif. Salah satu caranya adalah dengan menegakkan kedaulatan pangan bangsa. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI) setidaknya ada tujuh cara yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah selayaknya melakukan pembaruan Agraria. Kedua pemerintah semestinya memberikan hak akses rakyat terhadap pangan. Ketiga pemerintah harus menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan. Keempat pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan. Kelima, pemerintah harus melakukan pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi. Keenam pemerintah selayaknya melarang penggunaan pangan sebagai senjata. Terakhir, sebaiknya pemerintah memberikan akses kepada petani-petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian. Jika salah satu cara tersebut dilaksanakan, dengan demikian dapat dikatakan pemerintah tidak hanya berusaha dalam mengentaskan masalah kelaparan dan malnutrisi di Indonesia melainkan juga memenuhi hak anak bangsa, yakni hak hidup dan tumbuh-kembang.
Sebuah pepatah mengatakan, “Ada banyak jalan menuju Roma”. Tentu ada banyak cara demi mengatasi teror di negeri ini. Bukan mustahil terror itu dapat teratasi asalkan dengan catatan, maukah kita bertindak dan saling bahu-membahu demi membungkam jeritan lambung anak bangsa?
hingga Jumat, 1 Oktober 2010 pukul 15.12 WIB
Comments
Post a Comment