Membaca, Menjadi Columbus Masa Kini
Oleh : Noval Kurniadi
Pernahkah anda membaca sejarah tentang Christopher Columbus? Ya, lelaki yang
pernah menyatakan bahwa bumi itu bulat telah menjadi bagian dari sejarah dunia.
Namanya telah dikenal di penjuru negeri dan masuk ke dalam daftar 100 tokoh paling
berpengaruh di dunia versi Michael Hart urutan ke-9. Hebat sekali bukan?
Columbus dilahirkan di Genoa, Italia, pada 1451. Tatkala berangkat
dewasa, dia menjadi nahkoda kapal dan navigator. Ia pernah
membujuk Ratu Isabella I untuk menyediakan anggaran demi memudahkannya melakukan
ekspedisi ke Asia Timur.
Columbus adalah sang penjelajah dunia. Terbukti ia telah mengarungi
berbagai negara dan menemukan Benua Amerika pada sekitar abad
ke-15. Mungkin anda berpikir pada era globalisasi di saat harga barang
melonjak naik dan minimnya perekonomian rakyat semacam ini menandakan betapa
mustahilnya kita bisa berkeliling dunia seperti Columbus. Nyatanya, siapa saja
bisa berkeliling dunia secara gratis, tanpa kapal, tanpa pesawat, bahkan lebih cepat
ketimbang apa yang dilakukan Columbus. Yang harus kita lakukan hanyalah satu, yakni
membaca.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, membaca berasal dari kata ‘baca’ yang berarti
memahami arti tulisan. Ibarat sebuah pisau, maka membaca adalah tindakan mengasah
otak agar tidak tumpul dimakan waktu. Membaca merupakan kegiatan yang
positif karena kita bisa menambah wawasan serta mengembangkan daya imajinasi.
Membaca lebih dari sekadar mempersiapkan mata dan memperhatikan tulisan
saja, melainkan adalah sarana untuk berkeliling dunia secara gratis. Sebab kita
bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dunia tanpa harus keliling
dunia. Membaca tak harus selalu berkaitan dengan buku pelajaran.
Memahami arti tulisan yang tertera pada sastra, internet bahkan hingga
Al-Quran juga bisa diartikan membaca.
Sungguh ironis. Banyak orang yang setuju dengan pepatah, “buku adalah jendela
dunia”. Namun realitanya, perhatian generasi muda masa kini terhadap minat baca
tergolong rendah. Terbukti Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 menyatakan bahwa
masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan
informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan mendengarkan
radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id). Sementara
UNESCO pada 2005 menyatakan bahwa mahasiswa di negara maju memiliki
rata-rata membaca selama delapan jam per hari. Sedangkan di Indonesia hanya
dua jam per hari. Belum lagi laporan Human Development Report 2008/2009 yang
dikeluarkan UNDP menyatakan bahwa minat membaca Indonesia berada di peringkat
96 dari negara di seluruh dunia, sejajar dengan Bahrain, Malta dan Suriname.
Miris sekali bukan?
Sebaliknya, pola hidup remaja masa kini malah kurang memberikan manfaat,
seperti hang out misalnya yang cukup diminati. Sebenarnya Columbus pun
demikian, ia juga suka hang out. Bedanya, hang out yang dilakukan
Columbus tidak sekadar ‘mencuci mata’ saja, tetapi bernilai
positif. Terbukti perjalanannya dalam menjelajahi dunia
banyak menginspirasi dan memberikan manfaat bagi orang lain. Sama halnya dengan
membaca, maka itulah hang out yang positif. Sebab hanya bermodalkan bahan bacaan
dan mata saja, kita sudah bisa berkeliling dunia secara gratis sehingga kita
bisa menjadi orang berguna, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut saya, akar dari permasalahan ini adalah kesadaran. Tidak mungkin
seseorang menggemari suatu hal tanpa adanya kesadaran dan kemauan dari
manusia itu sendiri. Misalnya, seseorang menyukai matematika
karena ia sadar betapa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hal bisnis, dalam hal arsitektur bahkan dalam hal astronomi sekalipun pasti
dibutuhkan matematika. Sama halnya dengan membaca. Maka jika kita ingin meningkatkan
angka minat baca, yang harus kita lakukan adalah membangun kesadaran masyarakat,
terutama dari diri sendiri terlebih dahulu. Alangkah ruginya kita jika
selama belasan tahun mempelajari A-I-U-E-O, ba-bi-bu-be-bo bahkan hingga
‘ini Budi, ini Ibu Budi’ tetapi kita tidak menyadari betapa pentingnya budaya membaca
dalam kehidupan sehari-hari.
Membaca bukanlah suatu pemaksaan mata, melainkan suatu kesenangan tersendiri.
Jangan anggap sebagai suatu beban, tetapi anggaplah itu sebagai makanan yang
lezat. Setiap kali kita membaca, maka setiap kali pulalah kita merasakan aroma yang
nikmat. Resapilah rasanya yang manis, asem, asin dan pedas yang bercampur menjadi
satu yang secara perlahan-lahan merasuki hidungmu. Cicipilah apa yang kamu baca
lalu pahamilah artinya. Dengan begitu niscaya membaca tidak lagi menjadi ‘momok’
yang menjemukan, melainkan sebagai fantasi yang mengasyikkan.
Masa-masa remaja adalah masa-masa pencarian jati diri. Mereka cenderung mengikuti
tren dan apa yang banyak diminati. Belakangan tren harajuku tenar di kalangan
anak muda Indonesia. Jadi, andaikan kita berhasil mempengaruhi para remaja
untuk gemar membaca, dengan membentuk suatu komunitas misalnya, tak mustahil
kita bisa menjawab permasalahan ini.
Di samping itu keluarga juga turut berperan penting. Dalam buku Make Everything
Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa W. Hasyim
menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga. Kalaupun tidak
bisa, minimal orangtua mentradisikan budaya membaca kepada anak-anaknya sehingga
akan tumbuh rasa cinta mereka terhadap membaca. Bayangkan, apa jadinya jika
seluruh keluarga di negeri ini gemar membaca?
Pemerintah juga selayaknya melakukan pengadaan buku gratis, memberdayakan
perpustakaan-perpustakaan dan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan.
Dengan demikian pemerintah tak hanya menyelesaikan PR-nya demi memberantas
kebodohan tetapi juga menggiring bangsa ini menuju komunitas berbasis kultur.
Kiranya itulah solusi-solusi yang dapat saya kemukakan. Mungkin
terdengar sepele, namun akan berarti besar jika kita mau mulai
melakukannya. Saya tak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika semua generasi
penerus bangsa mencintai kegiatan membaca. Namun yang terpenting, saya selaku
penulis akan puas karena ada Columbus-Columbus masa kini yang akan berkeliling dunia
secara gratis.*^O^(Valniadi)
Comments
Post a Comment