Kita Naif, Cinta atau Fanatik Terhadap Agama? -PART 1-
oleh : Noval Kurniadi
Banyak
orang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara muslim di dunia.
Bagaimana tidak, denganjumlah presentase 85,1 % dari 230 juta jiwa,
mayoritas penduduknya beragama Islam. Sisanya disusul oleh Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Negara
muslim, tepatkah disebut demikian? Bagi saya kurang tepat. Sebab istilah
negara muslim memiliki pengertian yang ambigu, pengertian yang memiliki
lebih dari satu arti. Negara muslim bisa diartikan bahwa negara itu
menganut hukum dan syariat Islam, bisa berarti Negara bermayoritas
muslim bahkan bisa berarti juga bahwa semua penduduknya beragama Islam.
Maka alangkah baiknya jika penggunaan istilah itu diganti saja dengan
istilah “negara bermayoritas muslim”, bukan “negara muslim”. Realitanya,
meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak serta
merta menjalankan hukum Islam dalam sistem pemerintahannya. Begitu juga
perihal sistem penanggalan. Indonesia tidak menggunakan sistem
penanggalan Hijriah melainkan Masehi. Ini dikarenakan Indonesia adalah
negara yang toleran dan menghormati satu sama lain. Beragam suku, bangsa
dan agama tinggal disini.
Kendati demikian, tampaknya
status sebagai agama mayoritas dimanfaatkan oleh segelintir orang di
negeri kita. Salah satunya adalah dunia pertelevisian. Yang mayoritas,
umumnya yang mendominasi. Kalau tidak percaya, lihat saja
tayangan-tayangan televisi yang beredar belakangan ini. Tidak channel A, tidak channelchannel
C bahkan hampir semua channel menyiarkan sinetron dengan embel-embel
‘sinetron religi’. Mulai dari tokoh wanita berjilbab, tokoh ustadz yang
memberikan pencerahan bahkan hingga judul sinetronnya pun memakai
embel-embel unsur ‘religi’. Dimana-mana mengusung unsur religi. Di salah
satu stasiun televisi misalnya ada sebuah judul yang menarik perhatian
saya. Judul itu adalah “Kamu Muslim?” (judul ini diplesetkan) B,
Kamu
Muslim? Judul ini kelihatannya simple. Namun jika ditelaah lebih dalam
lagi, judul ini seolah membuka dialog pertanyaan bagi siapa saja yang
membacanya. Bagus kalau yang membaca adalah Muslim juga. Pasti begitu
membaca judul ini mereka menjawab, “ya, saya Muslim.” Tapi bagaimana
dengan yang nonmuslim? Apa jadinya jika mereka ditodongkan pertanyaan
semacam itu? Sepertinya kata ‘tidak’ lebih tepat untuk mereka ucapkan.
Dari judulnya saja terkesan hanya bisa menggugah satu kaum saja, tidak
dengan yang lain. Lantas bagaimana mereka bisa memahami bahkan mengenal
tentang suatu agama?
Kembali ke dunia pertelevisian, pada
masa kini tidak jarang rumah produksi yang memakai embel-embel religi
dalam sinetron yang mereka produksi. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah, “Benarkah sinetron itu benar-benar religi?”
Kurasa
terlalu naif dan dini jika kita mengidentikkan yang ini sinetron
‘religi’, yang ini ‘tidak’. Yang ini ‘alim’, yang ini ‘tidak’. Sebab
tidak semuanya bisa kita samaratakan. Kalau bicara soal religi,
khususnya Islam biasanya kita mengidentikkan dengan perempuan. Aurat.
Biasanya alur klisenya mengatakan seperti ini : Ada dua orang
perempuan. Yang satu seorang perempuan berjilbab yang baik hati
sementara yang satunya lagi adalah perempuan bergaya glamour. Perempuan
yang bergaya glamour dan seksi ini cinta sama seorang pemuda tampan yang
kaya raya. Namun sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan lantaran si
pemuda tampan mencintai si perempuan berjilbab karena ia kagum dengan
kesholehahannya. Tidak terima cintanya ditolak, alhasil beragam cara pun
dilakukan oleh si perempuan seksi demi menyingkirkan posisi si
perempuan berjilbab. Si perempuan jilbab diancam dan didesak untuk
mundur. Kadang-kadang si perempuan jilbab dikasih racun, dibilang ‘sok
alim’ bahkan hingga dicelakai. Meskipun demikian si perempuan jilbab ini
sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan. Biasanya ada adegan menangis.
Lalu bla.. bla.. bla.. hingga pada akhirnya cerita diakhiri berupa si
perempuan berjilbab hidup bahagia dengan si pemuda tampan.
Adakah unsur religi atau pesan yang bisa kita ambil?
Ada.
Perempuan yang berjilbab dan sabar dalam menghadapi cobaan adalah unsur
religinya. Sabar adalah salah satu sifat terpuji dan patut kita tiru.
Namun apakah bisa kita katakan bahwa sinetron yang memakai embel-embel
religi itu benar-benar religi?
Terlalu dini jika kita menilainya demikian.
Ketika
cerita dalam sinetron masih berupa naskah, maka tidak masalah jika ada
tokoh yang hobinya berpakaian seksi. Tapi ketika sudah berupa
‘tayangan’, ketika sudah diperankan, apakah kita sudah bisa menilai
kadar kereligiusannya?
Contoh lainnya,
misalnya dalam sinetron yang memakai embel-embel religi ada adegan
berupa sepasang suami-istri tengah berpelukan. Ketika masih dalam berupa
tulisan, masih berupa naskah skenario, itu tidak masalah. Toh, mereka
suami istri dan itu adalah salah satu cara penulis mendalami tokoh yang
diciptakannya. Namun ketika sudah diperankan, jika kita berbicara
tentang unsur religi, bisakah kita pastikan bahwa para pemain sinetron
adalah suami-istri beneran? Bukankah kalau kita telaah unsur
religi yang sebenarnya –islam- adalah tidak diperbolehkan memegang satu
sama lain kecuali muhrim?
Comments
Post a Comment