Anak Kecil
& Es Krim
Oleh :
Noval Kurniadi
Nina tampak asyik di
depan televisi. Ia menonton sebuah acara musik yang ditayangkan di sebuah
stasiun televisi swasta. Saking terlenanya, ia pun hingga menyanyikan lagu yang
ditampilkan sambil memeragakan gaya yang diperagakan oleh orang yang tampil di
TV bak penyanyi handal. “Baby I love you.. Love you.. love you.. so
much… and I miss you.. miss you and when you’re gone..”
Tiba-tiba saja…
Dengan sekejap channel yang ia setel berganti. Oalah.. ternyata Riko, abangnya yang mengganti saluran televisi.
“Ah… kakak usil nih..
kan aku lagi nonton!”
“Kamu itu masih kecil
Nina. Kamu tidak boleh mendengarkan lagu-lagu orang dewasa!” Terang kak Riko.
“Loh? Lagunya kan
bagus kak..”
“Iya, kakak tau
lagunya bagus. Kakak juga suka. Tapi masalahnya belum waktunya bagi kamu untuk
mendengarkan lagu-lagu yang belum kamu mengerti. Apalagi tentang cinta-cintaan.
Lagipula memangnya kamu tahu apa arti dari lagu yang kamu dengarkan? Belum
tentu tahu kan? Nanti kalau usiamu sudah lebih dewasa, baru kamu boleh
mendengar lagu apa saja.”
“Aku kan cuma dengerin
lagunya doang kak. Masa gitu aja salah? Kakak sirik aja! Emangnya kenapa sih
kak?”
“Aduh.. kamu ini
dibilangin ngeyel ya.. Ya udah kalau kamu mau tahu jawabannya apa, sekarang
kamu beli es krim dulu. Nanti akan kakak kasih tau jawabannya.”
“Es krim? Serius kak?”
“Iya serius lah.. masa
kakak bohong? Sekarang kamu coba beli dua buah es krim stik di warung sebelah. Terserah
rasanya apa aja, asalkan es krimnya sama.” Kata Riko sembari memberikan Nina
sejumlah uang.
“Baiklah.”
Tak lama kemudian Nina
pergi ke sebuah warung. Setelah membeli es krim, ia pulang lalu menunjukkan dua
buah es krim tersebut kepada kakaknya dan memberikan uang kembalian.
“Es krimnya sudah
kubeli kak.”
“Sekarang coba kamu
ambil dua buah gelas.”
Nina mengambil dua
buah gelas lalu meletakkannya di atas meja dapur.
“Lalu mau diapakan kak
es krimnya?”
“Coba kamu buka
bungkus es krim yang kamu beli. Setelah itu kamu masukkan dua buah es krim itu
ke gelasnya masing-masing.”
Nina menuruti apa yang
diperintahkan oleh kakaknya. Selang berapa lama kemudian Riko memberikan
intruksi kepada Nina untuk memperlakukan kedua buah gelas yang sudah terisi
dengan es krim secara berbeda. Es krim pada gelas pertama diletakkan di luar
rumah dijemur di bawah sinar matahari sementara es krim yang satunya dimasukkan
ke dalam lemari es. Di akhir intruksi, Riko meminta Nina untuk menunggu waktu
selama setengah jam. Nina pun menuruti apa yang diperintahkan oleh kakaknya.
Tak terasa setengah
jam telah berlalu. Kini Riko menyuruh Nina untuk membawa es krim yang telah
dimasukkan ke dalam lemari pendingin dan es krim yang diletakkan di luar rumah
ke meja dapur. Nina manut. Namun ia masih tampak bingung. Sebenarnya apa maksud
kakaknya berlaku demikian?
“Maksudnya apa sih
kak? Aku nggak ngerti!”
“Coba kamu perhatikan
kedua gelas itu. Adakah yang berbeda?” Tanya Riko.
“Yang satu es krimnya
lumer. Sedangkan yang satunya lagi es krimnya tetap membeku. Terus maksudnya
apa kak?”
“Kalau kamu jadi es
krim, kamu ingin jadi es krim yang mana? Es krim yang masih beku atau es krim
yang sudah mencair?”
“Jelas es krim yang
masih beku lah! Lebih enak! Kakak ada-ada saja sih! Maksudnya apa sih kak? Aku
enggak ngerti!”
“Nah.. itu dia maksud
kakak! Sama seperti musik yang kamu dengarkan, tidak semua lagu sesuai dan
boleh kamu dengarkan. Kamu belum mengerti soal cinta-cintaan apalagi pacar-pacaran.
Jadi kamu tidak boleh menyukainya karena sesuatu yang belum tepat pada waktunya
akan menjadi kurang baik. Percaya deh sama kakak.”
“Es krim akan mencair jika dijemur di bawah sinar
matahari bukan karena es krim tidak boleh dijemur. Tetapi karena es krim tidak
cocok dengan suasana panas. Makanya es krim meleleh. Sebaliknya es krim akan
tetap membeku jika dimasukkan ke dalam kulkas. Bukan karena es krim memang
harus dimasukkan ke dalam kulkas, tetapi karena es krim sesuai dengan suasana
dingin.” Lanjut Riko
“Kamu itu masih terlalu dini dek. Kamu itu masih
kecil, masih SD. Masih banyak hal yang
belum ketahui dari dunia ini, termasuk tentang dunia kakak atau dunia orang
dewasa lainnyaa. Sesuatu itu ada masanya dek. Termasuk ketika kamu mendengarkan
lagu milik orang dewasa, khususnya yang berbau cinta-cintaan. Bukan karena kamu
tidak boleh mendengarkan, tetapi karena lagu-lagu tersebut tidak sesuai dengan usia
kamu dan belum waktunya juga bagi kamu untuk mengerti dunia remaja dan orang
dewasa. Nanti ada waktunya kok. Kamu mengerti kan maksud kakak?”
Nina diam sejenak. Ia
mengangguk.
“Ya sudah, kalau kamu
mengerti, kamu tonton yang lain saja ya..”
TUKANG BAKSO DAN TUKANG POS, EKSISTENSI YANG KIAN TERGUSUR
Cerita di atas
bukanlah penggalan dongeng pengantar tidur. Bukan pula kisah 1001 malam. Melainkan
tentang sebuah realita yang harus kita sadari. Tanpa kita sadari, anak kecil ibarat
es krim. Kadangkala mereka tidak tahu dimana seharusnya mereka berada. Mereka seakan
merasa nyaman atas tempat yang disinggahinya namun sebenarnya 0 besar.
Anak-anak seharusnya mendengarkan lagu anak-anak atau lagu yang lebih
universal, bukan lagu remaja atau orang dewasa!
Orang-orang yang lahir pada tahun sebelum tahun 1990
dan sekitar 1990an mungkin sudah tak asing dengan lirik lagu seperti ini : “Abang tukang bakso mari mari sini.. aku mau
beli… abang tukang bakso cepatlah kemari sudah tak tahan lagi.. Satu mangkok
saja dua ratus perak yang banyak baksonya… Tidak pakai saos tidak pakai sambal
juga tidak pakai kol..”
Juga dengan lirik lagu seperti ini ; “Aku tukang pos rajin sekali. Surat kubawa
naik sepeda… Siapa saja aku layani… Tidak kupilih miskin dan kaya… Kring..
kring… pos!”
Artinya dahulu eksistensi tukang bakso dan tukang
pos sudah tidak diragukan lagi. Nama mereka diabadikan dalam sebuah lagu dan
bahkan sering didendangkan oleh anak-anak pada masa itu. Namun bagaimana dengan
sekarang? Seiring berkembangnya zaman, musik masa kini justru membuat sedih
para tukang bakso dan tukang pos. Sebab eksistensi mereka telah digusur oleh
berbagai macam orang, mulai dari cinta pertama, kekasih, selingkuhan hingga kekasih gelap. Terbukti kini lagu-lagu seperti
“Tukang Bakso” atau “Tukang Pos” seakan asing untuk diperdengarkan. Tanyakan
saja pada anak-anak zaman sekarang, kenalkah mereka dengan lagu-lagu tersebut? Bandingkan
dengan lagu semisal “Keong Racun”, mana yang lebih mereka kenal?
Itu hanya satu dari sekian banyaknya realita yang
terjadi, di luar sana masih banyak contoh lagi tentang miskinnya pengetahuan
anak terhadap lagu yang menceritakan tentang identitas mereka!
Kita tidak bisa memungkiri bahwa anak-anak zaman
sekarang lebih menggemari lagu orang dewasa ketimbang lagu mereka sendiri.
Akibatnya tak jarang anak ‘mencair’ dalam kondisi yang tidak seharusnya padahal
kita bisa memasukkannya ke dalam ‘lemari es’ agar tetap menjadi beku. Es krim
akan lebih enak dinikmati ketika masih beku. Namun ketika sudah menjadi air, dibutuhkan
proses lagi agar bisa menjadi beku seperti sedia kala.
Miris rasanya melihat
realita perkembangan musik di Indonesia saat ini. Tiap Senin, Selasa, Rabu
bahkan setiap hari selalu saja ada acara musik yang ditayangkan oleh stasiun televisi.
Tidak hanya satu atau dua, tetapi bahkan hampir sebagian besar stasiun televisi.
Soal jam tayang pun juga tak jarang menjadi permasalahannya. Dari pagi hingga
malam rasa-rasanya dunia pertelevisian kita tak lepas dari acara musik. Kiranya
televisi tanpa acara musik ibarat sayur tanpa garam.
Kendati demikian bukan berarti saya melarang atau
menganggap acara musik yang ditampillkan oleh televisi itu buruk. Saya juga
pencinta musik. Saya senang mendengarkannya. Namun jika acara musik ditayangkan
secara berlebihan dan terlalu mendominasi hingga melupakan kalangan lain (baca
: anak) saya turut prihatin. Terlebih ada acara musik yang ketika ada hari
tertentu ia menampilkan acara musik dari pagi hingga malam. Mungkin tidak
masalah jika acara yang ditampilkan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Tapi
masalahnya, acara musik yang ditayangkan hanya identitas dari dunia remaja dan
orang dewasa. Dunia anak-anak seakan menjadi tabu untuk diekspos.
Alhasil anak menjadi tidak mengerti tentang dunianya
yang sebenarnya. Di sisi lain ia malah terkesan sok tahu dengan dunia yang
belum dilaluinya. Anak adalah insan yang polos. Mereka belum mengerti mana yang
baik dan mana yang kurang baik untuk dirinya. Mereka juga merupakan imitator
terbaik. Mereka senantiasa mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya. Termasuk
ketika hidup mereka telah diracuni oleh dunia remaja dan orang dewasa.
Di lingkungan saya terdapat banyak anak kecil. Mulai dari yang masih bayi hingga yang sudah
SMP. Saya tidak tahu apakah mereka hapal dengan lagu “Abang Tukang Bakso” atau
tidak, namun yang jelas mereka sangat hapal dengan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan
oleh penyanyi remaja. Sampai-sampai anak perempuan di lingkungan saya yang berusia
sekitar 6 hingga 11 tahun selalu mengikuti perkembangan sebuah girl band.
Setiap kali girl band itu tampil di TV mereka tak ketinggalan untuk menonton
sembari menyanyikan lagu-lagu andalan mereka. Seakan-akan mereka sudah mengerti
terhadap apa maksud dari lirik lagu yang dinyanyikan padahal sebenarnya tidak.
Sungguh ironis!
Tampaknya keadaan sudah berubah! Dahulu ketika saya
masih SD saya masih sering mendengar lagu-lagu anak yang didendangkan melalui
acara musik anak di televisi. Sampai-sampai saya hapal dengan lagu “Bolo-bolo”nya
Tina Toon dan “Diobok-obok”nya Joshua. “Du bi du bi dam”nya Eno Lerian juga tak
kalah melekat dalam ingatan saya.
Tapi sekarang? Anak-anak zaman sekarang haus akan identitas
mereka! Bukan hanya haus terhadap penyanyi cilik, tetapi juga lagu yang
bercerita tentang dunia mereka. Memang ada segelintir penyanyi cilik yang turut
berpartisipasi dalam dunia anak. Namun tidak semua dari mereka yang juga
menyanyikan lagu tentang anak. Ajang pencarian penyanyi cilik yang diadakan di televisi
juga tak jauh berbeda. Cashingnya
memang anak-anak. Tapi materi yang disampaikan tak lebih dari sekadar lagu
remaja dan orang dewasa yang dibuat seolah-olah cocok dengan dunia anak.
PERLU KERJA SAMA
Masalah ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Jika tidak, jangan heran jika suatu hari nanti anak-anak
Indonesia akan ‘mencair’ sebagaimana mencairnya es krim lantaran didiamkan
begitu saja.
Solusi terkecil
dimulai dari peran keluarga. Sebab baik atau buruknya seorang anak ditentukan
dari kualitas dan bagaimana sebuah keluarga, khususnya orangtua dalam mendidik
dan membimbing anak-anaknya. Anak-anak memiliki keingintahuan yang tinggi,
termasuk soal tontonan televisi. Maka sebuah keluarga, khususnya orangtua harus
memperhatikan dan mengawasi anak-anaknya tatkala mereka menonton TV. Berikan
pengertian kepada mereka tentang apa yang selayaknya boleh ditonton dan apa
yang belum boleh ditonton. Belikan juga kepada mereka beberapa kaset lagu atau film anak-anak. Dengan begitu lambat laun anak akan
mulai mencintai dunianya sendiri.
Selain keluarga, pendidikan
juga turut memegang andil. Guru selaku orang tua di sekolah harus memberikan
pengertian dan pengetahuan kepada anak tentang mana yang boleh mereka ikuti dan
mana yang tidak boleh, khususnya musik. Alangkah lebih baik lagi jika pihak
sekolah bisa meningkatkan kreativitas anak-anak dalam bermusik tanpa
meninggalkan identitas anak-anak. Mengadakan lomba menyanyi lagu anak-anak atau
daerah misalnya.
Insan musik dan perfilman
juga tak kalah berperan besar. Mereka adalah sepasang sahabat sejati yang tidak
bisa dipisahkan. Sebaliknya mereka saling mengisi kekurangan dan kekosongan
satu sama lain. Di tengah keringnya tontonan anak, kiranya film bertemakan
anak-anak amat dibutuhkan di negeri ini. Film-film tersebut harus lebih gencar
diciptakan.
Saya masih ingat benar bagaimana Sherina menyanyikan
lagu anak yang ceria dan penuh dengan kekhasannya dalam film Sherina. Terlebih
kala itu film petualangan sherina menjadi momentum kebangkitan dari perfilman
Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika film anak di
Indonesia semakin berkembang pesat. Tentu ini bisa memberikan dampak positif
bagi kita semua, khususnya anak.
Media, khususnya televisi selaku salah satu pemberi
pengaruh paling besar selain internet juga sepatutnya mengimbangi acara-acara yang
mereka tampilkan dengan acara yang lebih universal. Jangan hanya menampilkan
acara yang berkaitan dengan satu kalangan seperti remaja atau orang dewasa saja,
tetapi berikan kesempatan juga bagi anak untuk mengenal dunianya. Di era
sekarang rasanya amat jarang acara musik anak. Kalaupun ada, itu pun bisa
dihitung dengan jari. Selain itu pemerintah juga bisa turut berpartisipasi.
Berikan reward atau apresiasi pada
media, insan musik, insan perfilman, tokoh dan lembaga yang memiliki passion terhadap anak agar idealisme-idealisme
terhadap dunia anak tetap terjaga.
Kiranya inilah beberapa solusi yang bisa saya kemukakan
demi menghadapi ‘keringnya’ musik anak di tengah-tengah gencarnya musik yang
bertemakan dunia remaja dan orang dewasa. Tentu hal ini tidak akan bisa
terealisasi dengan baik jika tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Tetapi
perlu kerja sama yang erat antara satu sama lain. Kita tidak mau kan kalau ‘es
krim-es krim’ itu mencair?*
Sumber gambar :
https://aklahat.wordpress.com/2010/11/22/aku-suka-bernyanyi/
http://jejakroda.wordpress.com/2011/08/28/perihal-makan-memakan/
http://degazeblog.blogspot.com/2011/10/lagu-anak-indonesia-jangan-hilang.html
Comments
Post a Comment