“Jadi
bagaimana hasilnya? Kamu sudah tanyakan kepada ayahmu, bukan? Apa katanya?”
Tanya Adhyastha penasaran. Tak lama kemudian ia menyeruput secangkir teh yang
ada di atas meja.
Perempuan
itu menghela napas. Ia diam sejenak. Semilir angin yang berhembus kencang
mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang terurai. Sekilas persis bendera
berkibar. Dijatuhkan pandangannya pada pohon kelapa yang tinggi menjulang.
Tatapannya kosong.
“Mara?
Bagaimana? Kamu sudah bertanya kepada ayahmu, kan? Apa jawabannya?” Kali ini
suara bass Andi lebih tebal.
Kini
Marauleng, perempuan berambut panjang itu mengalihkan pandangannya pada Andi.
Ditatapnya ia lekat-lekat.
“Mar?”
“Ng…
Ayah tidak berubah pikiran Dhy. Ia tetap pada prinsipnya sebelumnya.”
“Memangnya
kamu tidak bisa menawarkan pilihan yang lain tanpa harus melakukan itu?”
“Aku
sudah berusaha Dhy, tapi ayahku tetap tidak berubah pikiran. Kamu tahu kan
ayahku itu orangnya seperti apa? Kalau ia berkata A, pasti A. Kalau ia berkata
B, harus B. Aku sendiri juga bingung bagaimana mau menanggapinya.”
“Berarti?”
“Maafkan
aku Dhy. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau kau memang serius ingin
menikahiku, kau harus melakukan syarat yang ia ajukan. Kata ayah, di situlah
letak kepantasan seorang pria.”
Mata
Mara berkaca-kaca. Ia kehabisan kata-kata. Selagi
Adhyastha berpikir tentang apa yang seharusnya ia lakukan, tiba-tiba datang
seorang perempuan berbaju putih dan rok hitam panjang datang sembari membawa
nampan. Ia berkata, “Makanannya sudah kak?”
***
Adhyastha
bingung bukan main. Apa yang harus ia lakukan? Ia sangat mencintai Marauleng,
pemilik nama ‘sang cahaya bulan’ dalam bahasa Bugis. Telah 3 tahun ia memadu
kasih dengannya dan ia merasa kini waktu yang tepat untuk mempersuntingnya. Entah
mengapa dari sekian banyaknya perempuan, ia merasa Marauleng adalah perempuan
yang tepat yang dikirimkan Tuhan untuknya. Namun masalahnya, mengapa calon
mertuanya alias ayah Marauleng mengajukan sebuah syarat agar dapat
mempersunting putrinya? Inikah yang dialami orang kebanyakan sebelum dapat
menegakkan janur kuning? Dan haruskah ia melakukannya?
“Lantas apa
yang membuatmu ragu?”
“Aku tidak
ragu mas. Hanya saja aku takut aku tidak bisa memenuhi persyaratan yang
diajukan oleh ayahnya. Bagiku itu terlalu sulit.” Jelas Adhyastha.
“Aku mau
bertanya, apa kau benar-benar mencintai Mara?”
“Eh? Kok pertanyaanmu
aneh ya mas? Tentu saja aku mencintainya lah mas. Kalau tidak, tidak mungkin
aku berniat mempersuntingnya. Iya, toh?”
“Nah! Kalau
kau memang mencintainya, lalu apa lagi yang perlu dibingungkan?”
“Loh, kan mas sudah
tahu apa permasalahannya. Ya yang aku ceritakan barusan yang aku bingungkan.”
“Aku masih
tidak mengerti. Setahuku, kalau kita benar-benar telah menaklukkan hati
seseorang, seharusnya kita juga sudah harus berhasil menaklukkan diri kita
sendiri. Bagaimana bisa kau menaklukkan hati orang tuanya kalau dirimu sendiri
belum berhasil kau taklukkan?”
“Maksud mas?”
“Maksud
suamiku, kalau kau telah berhasil menaklukkan hati seseorang yang kau cintai,
kau juga harus berhasil menaklukkan dirimu sendiri. Entah itu menaklukkan
dirimu dari perasaan takut, dari perasaan gundah gulana, dari perasaan
kekhawatiran dan dari perasaan apa saja. Apapun perasaanmu, kamu harus bisa
menaklukkannya.” Tiba-tiba seorang perempuan berambut sebahu datang sembari
meletakkan secangkir teh di atas meja. Ialah Cenning, kakak Marauleng yang
telah dipersunting Bagus 4 tahun yang lalu.
“Lagipula terlalu
sulit bukan berarti tidak bisa, kan?” Sambung Cenning lalu duduk di sebelah
suaminya.
***
Adhyastha
berubah pikiran. Ia berpikir tampaknya ada benarnya juga tentang apa yang
diucapkan oleh Bagus, kakak ipar Marauleng pada tiga hari lalu. Ia harus
menaklukkan dirinya sendiri terlebih dahulu agar bisa menaklukkan hati orang
lain, itulah kuncinya. Oleh karena itu ia pun berusaha untuk membuang segala
pikiran negatif yang ada di benaknya kemudian ia ubah menjadi pikiran positif. Berkali-kali
ia mencoba memberikan sugesti positif kepada dirinya sendiri : Aku pasti bisa, aku
pasti bisa, aku pasti bisa. Alhasil, berbagai ketakutan dan kekhawatiran yang semula
menumpuk di dadanya perlahan-lahan berhasil ia usir, tergantikan dengan rasa
percaya diri dan keberanian yang pada awalnya tiada.
Kini tekadnya sudah
bulat. Perasaan optimisme telah tumbuh di lubuk hatinya. Jantungnya yang semula
berdetak tak karuan kini menjadi normal. Syukurlah, ia sudah bisa mengendalikan
suasana hatinya.
Di hadapannya tampak
sekelompok orang yang tengah membangun sebuah kapal. Sebagian besar di antara
mereka sudah bukan anak muda. Ia menghela napas. Sebentar lagi ia akan tiba di
sana. Maka sembari melangkahkan kedua kaki menyusuri pantai Bira yang asri dan
teduh, ia kepalkan kedua tangannya seperti batu, tanda ia sudah mantap. Ada hal yang harus ia bicarakan hari ini. Ia
percaya bahwa ia bisa melakukannya. Namun di luar dugaan, ketika seorang pria berambut
putih dan berkumis menghentikan aktivitasnya lalu menoleh dan menatapnya
lekat-lekat, mendadak keringat bercucuran di tubuhnya. Pikirannya pun menjadi
buyar. Sekejap ia gugup. Sontak detak jantungnya berdegup kencang.
***
“Jadi
kau serius mau memenuhi syarat yang telah kuberikan?”
“Ya
pak! Saya serius mau memenuhi syarat yang telah bapak berikan. Tapi…”
“Tapi
apa nak?”
“Tapi
bantu saya pak dalam menyelesaikan syarat yang telah bapak berikan.”
Uhuk! Ayah Marauleng tersedak
mendengarnya. Seketika ia batuk sehingga kopi yang sedang ia minum terpaksa ia
muncratkan.
“Uhuk!
Uhuk!”
“Ucapanku
ada yang salah ya? Bapak tidak kenapa-kenapa, kan? Hati-hati pak minumnya.”
“Uhuk! Uhuk! uhuk!”
“Pak?”
Bapak
Marauleng masih terbatuk-batuk.
“Perlu
kuambilkan air putih?”
“Tidak
usah nak, tidak usah. Uhuk! Uhuk!”
“Apakah
ucapanku ada yang salah, pak?”
“Tidak
ada kok nak, tidak ada. Ucapanmu tidak ada yang salah.”
“Lalu
mengapa bapak tersedak saat aku berkata bahwa aku siap dengan syarat yang telah
bapak berikan?”
“Sepertinya
kau salah kaprah. Begini nak, kepantasan seorang lelaki dalam hidup bersama dengan
seorang perempuan, dalam hal ini anak saya tidak bisa dilihat dari seberapa mampu
atau seberapa jago ia dalam memenuhi atau menyelesaikan sebuah tantangan.
Melainkan dilihat dari seberapa ‘besar’ kemauan si lelaki tersebut dalam menaklukkan
suatu tantangan. Bisa atau tidak itu masalah belakangan, yang penting mau atau
tidak.”
Ayah Mara
melanjutkan pembicaraan, “Maka dari itu sebagai orang tua, saya ingin yang
terbaik untuk anak saya nak, termasuk soal siapa yang akan menjadi suaminya.
Kalau dikasih tantangan oleh manusia saja sudah angkat tangan, apalagi kalau
dikasih tantangan sama Tuhan? Bagaimana bisa ia menjadi suami yang ideal?”
“Dengan kata
lain, saya ingin kalau kamu memang merasa pantas untuk anak saya, buktikan
kepada saya bahwa kamu memang pantas. Taklukkan diri kamu sendiri terlebih
dahulu baru kamu bisa dikatakan telah berhasil menaklukkan orang lain. Lagipula
bukankah pernikahan bagaikan perjalanan di atas perahu layar? Suka atau tidak,
pasti akan selalu saja ada rintangannya.”
“Jadi kalau kita
memang benar-benar mencintai seseorang dan ingin hidup bersamanya, maka kita
juga harus ‘hidup bersama’ dengan semua keluarga dan segala hal yang berkaitan
dengannya. Tak terkecuali dengan budaya yang dipegang teguh oleh pasangan kita.
Bagaimana, kau sudah siap?”
***
Jika tidak ada Bulukumba, sebuah
daerah di Sulawesi Selatan mungkin lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut.” tak akan
pernah tercipta. Betapa tidak, suku Bugis yang menempati wilayah Sulawesi
Selatan sudah terkenal sebagai pelaut, nelayan bahkan hingga pembuat kapal yang
handal sejak dahulu. Kapal pinisi adalah bukti karya terbesar yang dimiliki
oleh suku ini.
Bermodalkan insting, kearifan lokal
dan keahlian yang diperoleh secara turun-temurun, salah satu mahakarya bangsa
ini berhasil dibuat tanpa membuat pola terlebih dahulu. Pembuatannya pun
melawan arus. Jika teknologi Barat membangun kapal dengan membuat rangka bagian
dalamnya terlebih dahulu, pinisi justru sebaliknya, dari bagian luar terlebih
dahulu. Padahal jika kerangka luarnya dahulu yang dikokohkan, kapal berpotensi
hancur oleh ombak atau karena menabrak objek yang keras. Kehebatan pinisi
diceritakan dalam naskah kuno suku Bugis, yakni “La Galigo”.
***
“Ini
diletakkan dimana pak?”
“Di
sana. Di dekat pohon kelapa itu. Maju sedikit lagi nak.”
“Oke
pak.”
“Jangan
lupa kita letakkan kayunya ke arah timur laut ya.”
Beserta 5
orang yang terdiri dari punggawa (tukang
pembuat kapal) dan panrita lopi (ahli
pembuat kapal), Adhyastha turut membantu jalannya proses pembuatan kapal
pinisi. Mereka bahu membahu dalam memikul kayu untuk nantinya akan dijadikan
sebagai bahan pembuatan kapal pinisi.
Kayu yang
mereka angkut dari sebuah truk terdiri dari beberapa jenis. Selain kayu ulin,
ada pula kayu besi dan kayu jati. Beragamnya jumlah kayu yang tersedia
mencerminkan bahwa setiap kayu punya peranan masing-masing. Misalnya, kayu jati
besi atau kayu ulin yang kuat akan dijadikan oleh para punggawa dan panrita
lopi sebagai lunas. Lunas adalah bagian dasar kapal dan merupakan bagian
terpenting sebab ia merupakan letak titik keseimbangan kapal. Sedangkan kayu
jati biasa digunakan sebagai interior.
Setelah semua
kayu terkumpul, kini tiba waktunya bagi para punggawa dan panrita lopi untuk melakukan
upacara khusus. Hal ini biasa mereka lakukan dalam rangka memotong lunas. Betapa
beruntungnya Adhyastha. Di saat inilah ia yang semula awam dengan kearifan
lokal Bugis jadi tahu bahwa pinisi bukan sekadar pinisi. Melainkan ada filosofi
dan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Balok lunas bagian depan
merupakan simbol maskulin sedangkan balok lunas bagian belakang merupakan simbol
feminis. Begitulah penjelasan, ayah Mara, salah seorang panrita lopi.
Upacara
pemotongan lunas dimulai. Setelah semuanya dihadapkan ke arah Timur Laut, ayah
Mara mengajak semua orang yang berada di sana untuk memunajatkan doa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Setelah itu bagian yang telah ditandai dengan pahatan
dipotong sepanjang 25 cm namun ujung yang telah terpotong tidak boleh menyentuh
tanah.
Dalam proses
pemotongan lunas, setelah lunasnya digergaji sedikit, serabut kayunya dikunyah
secara bersama-sama oleh para punggawa dan pemilik kapal.
“Ini serius
pak dimakan?” Adhyastha yang seumur hidup belum pernah memakan serabut lantas
terheran-heran. Berbagai pemikiran pun terlintas di benaknya. Apa enaknya makan
serabut? Atau apa tidak ada makanan lain?
“Iya dimakan.
Ayo dimakan. Enak loh. Coba cicipi dulu sedikit.”
“Ayo dimakan mas.
Tidak bakal keracunan kok! Kita semua makan lho..” Sahut punggawa lainnya yang
berusia sekitar 25-an.
Adhyastha
ragu. Haruskah ia mengikuti anjuran mereka? Sejenak ia mendekatkan serabut yang
digenggamnya ke arah mulutnya namun begitu memikirkan bagaimana rasanya, ia
menjauhkan tangannya kembali.
“Ini adalah
tradisi yang kami lakukan secara turun temurun. Kami biasa melakukannya agar
kami bisa merasakan suka-dukanya dalam pembuatan kapal. Jadi ayo, makan saja.”
Akhirnya Adhyastha
mencoba memberanikan diri. Semula ia hendak menutup hidungnya, membuka mulutnya
lebar-lebar lalu mengunyah serabut yang digenggamnya. Namun ia mengurungkan
niatnya. Realitanya, sembari memejamkan mata, begitu mulut ia buka lebar-lebar
ia langsung memasukkan serabut. Setelah itu ia kunyah secara perlahan-lahan. Agak
aneh, pikirnya, tapi lumayan juga. Selagi ia mencoba menikmati makanan baru
yang tak pernah ia makan sebelumnya, calon mertuanya memperhatikannya dengan
saksama.
“Bagaimana nak
rasanya? Enak kan?”
“Agak aneh
pak, tapi lumayan buat mengisi perut.”
Mendengar
jawaban polos dari Adhyastha sontak membuat orang-orang yang berada di
sekitarnya tertawa. Di sisi lain mereka merasa maklum sebab ini adalah
pengalaman pertama bagi Adhyastha. Jangankan punggawa, suku bugis pun juga
tidak. Adhyastha adalah orang beretnis Jawa namun sudah besar di Makassar sejak
17 tahun lalu. Orang tuanya yang suka merantau membawa Adhyastha kecil, yang
kala itu berusia 8 tahun ke tanah Celebes.
Ada satu catatan
yang perlu diperhatikan ketika melakukan pemotongan lunas. Setelah lunas bagian
belakang dipotong dan tidak boleh menyentuh tanah, potongan lunas itu kemudian
dicelupkan ke air laut untuk dibawa pulang oleh pemiliknya. Di saat inilah ilmu
Adhyastha bertambah.
“Kau tahu? Potongan
lunas yang dibawa pulang itu akan menjadi harapan bahwa kapal tidak tenggelam
dan bisa kembali pada pemiliknya. Itu juga sekaligus menjadi simbol sebagai
laki-laki yang siap melaut untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Sedangkan
balok lunas bagian belakang disimpan di rumah sebagai simbol istri pelaut yang
setia menunggu suami pulang.” Jelas salah seorang punggawa.
***
Sebenarnya pinisi bukan satu-satunya karya yang berhasil diciptakan oleh suku
Bugis. Suku Bugis selaku pelaut ulung telah berhasil mengkreasikan berbagai jenis
kapal. Hanya saja, kapal pinisi adalah kapal yang paling modern dan terkenal di
dunia. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1986 Pinisi Nusantara berhasil
melakukan pelayaran dari Jakarta hingga Vancouver, Kanada. Sungguh itu
merupakan prestasi yang membanggakan.
Comments
Post a Comment