Belum lama ini tersiar kabar tentang kontroversi program Titip Doa Baitullah yang diselenggarakan oleh komunitas sedekah harian.
Program ini menuai kontroversi lantaran dalam program itu dijelaskan bahwa dengan memberikan sedekah minimal Rp 100.000 ditambah 2014 perak menjadi Rp 102.014, kita bisa menitipkan doa kepada saudara berinisial AG, seorang perencana keuangan yang saat itu kebetulan tengah berada di Baitullah.
Rencananya, program ini berjalan pada 31 Desember 2013 hingga 7 Januari 2014. Namun belum genap seminggu program ini dilaksanakan, program yang diluncurkan di twitter ini menjadi kontroversi. Beragam opini pun timbul. Ironisnya, mayoritas dari mereka dengan mudahnya menghakimi saudara AG dengan tuduhan "menjual doa dengan uang!" Amat disayangkan. Padahal menurut Tuhan, bisa jadi tidak seperti itu niat dan maksud saudara AG. Atau apa manusia lebih tahu isi hati orang ketimbang Tuhan sendiri?
"Penilaian masyarakat itu kejam!" Kata salah seorang yang sudah saya anggap sebagai kakak saya sendiri.
Kiranya itulah realitanya.
Bahkan setelah saudara AG telah menyatakan permintaan maaf di berbagai media sekalipun, masyarakat masih ada saja yang memberikan penilaian secara kejam.
Padahal kalau kita lihat dari sudut pandang berbeda, sebenarnya program ini bagus sekali karena mendorong orang untuk aktif bersedekah dan berdoa. Program ini juga sejatinya terdiri dari 2 program. Pertama, program titip doa. Dan kedua, program sedekah. Untuk kegiatan sedekah ini bukan pertama kalinya komunitas ini mengadakan kegiatan seperti ini. Melainkan sudah sejak 2 tahun lalu. Kalau memang program sedekahnya tidak 'benar', kenapa komunitas bisa bertahan hingga 2 tahun?
Namun berhubung kebetulan si empunya ide sedang berada di Baitullah dan sedang "momennya", maka ia terlintas ide untuk membuat program 'titip doa'. Sayangnya, kedua program yang sebenarnya berbeda ini ditulis dalam 1 bahasa dan secara bersamaan sehingga terkesan jadi satu.
Akibatnya, bahasa yang ambigu membuat orang berpikir, "Harus sedekah minimal Rp 100.000 dulu kalau mau didoakan!"
Padahal (saya yakin) maksud sebenarnya adalah, "Silakan bersedekah dan silakan titip doa."
Maka, inilah hikmah yang kita ambil dari kasus ini. Sebagus-bagusnya idenya, apapun itu bentuknya, jika eksekusinya tidak baik bisa berakibat fatal. Contohnya adalah ini. Idenya sudah bagus berupa kegiatan sedekah dan titip doa. Namun bahasa penyampaiannya yang (mungkin) masih belum baik mengakibatkan maksudnya tak tersampaikan dengan baik. Akibatnya ada kesalahpahaman antara penyelenggara kegiatan dan masyarakat sehingga orang beranggapan bahwa si penyelenggara menjual doa dengan mengatasnamakan sedekah.
Mungkin akan lain
ceritanya jika dua program ini tidak dibahasakan jadi satu dan tidak ada
batas minimal dalam jumlah sedekah. Misalnya kata-kata "Sedekah minimal
Rp 100.000 agar didoakan di Baitullah" diganti jadi "Yuk sedekah
(bebas) dan titip doa!". Bisa bandingkan, bukan?
Saya percaya bahwa berdoa tidak harus pakai perantara. Namun bukan
berarti kalau ada yang mau melakukannya, itu buruk, kan? Ambil
pengertian bahwa, "berdoa langsung ke Allah itu bagus, nitip doa juga
bagus", bukan "berdoa langsung ke Allah itu bagus tapi nitip doa gak
bagus"
Saya percaya bahwa saudara AG dan komunitas itu berniat baik atas program yang mereka canangkan. Apalagi di saat sebagian orang beranggapan kalau uang sedekah yang masuk akan digunakan untuk kepentingan pribadi, saya percaya bahwa komunitas bersangkutan akan menyalurkannya dengan baik. Hanya saja eksekusi yang tidak baik membuat mereka menjadi tidak beruntung.
Semoga ini
bisa menjadi pelajaran dan introspeksi bagi kita semua agar dapat
mengeksekusi ide yang bagus dengan baik dan terhindar dari orang yang
berburuk sangka. Amin.*
Comments
Post a Comment