Waktu SD saya hobi sekali menggambar. Menggambar orang, rumah, hewan,
benda-benda, tapi keseringan sih bentuknya komik. Sampai-sampai saya
punya buku yang isinya itu menyerupai majalah. Disebut majalah karena
isinya emang mirip-mirip rubrik di majalah pada umumnya. Maklum, saya
sempat terobsesi untuk mengasuh sebuah majalah. :P
Saya
rutin sekali menggambar. Sampai pada akhirnya seorang teman
mengingatkan saya untuk tidak menggambar makhluk hidup, saya sempat
menghentikan hobi saya. Ia bilang, ibunya pernah baca Al-Quran dan
ibunya pernah baca tentang larangan menggambar makhluk hidup. Jika tetap
masih berani, kita bisa dijebloskan ke dalam neraka dan siksaan bagi
tukang gambar amat besar. Ia juga menjelaskan kalau tukang gambar nanti
diminta pertanggungjawabannya untuk meniupkan ruh ke makhluk hidup yang
kita gambar karena menggambar makhluk hidup sama saja dengan menandingi
ciptaan-Nya.
Berhubung saya dulu masih polos (masih SD,
kelas 6 kayaknya) dan close-minded, saya menelan informasi darinya
mentah-mentah. Saya gak mau dapet siksaan berat. Saya juga gak mau
disuruh niupin ruh karena memang gak bisa. Akibatnya, gambar-gambar yang
pernah saya buat saya hapus dan sebagian di antaranya saya corat-coret.
Waw, berat sekali menggambar itu! Saya berharap Allah mau memaafkan
kesalahan saya karena sudah menggambar makhluk hidup. Sejak saat itu
saya tidak menggambar lagi untuk sekian waktu (lupa persisnya).
Sekian
waktu saya tidak menggambar, sekian lama pula saya lupa akan ucapan
teman saya. Sampai pada akhirnya ada titik dimana saya mencoba menjadi
lebih 'open-minded'. Saya berpikir, "Masa sih Allah sekaku itu? Hanya
karena gambar dan saya tidak pernah ada maksud untuk menandingi
ciptaan-Nya, saya dapat siksa yang berat?"
Sempat saya
menemukan jawaban yang menyatakan bahwa menggambar makhluk hidup itu
hukumnya boleh namun dengan beberapa pengecualian. Misalnya untuk
pelajaran atau untuk anak kecil, tetapi di luar itu dilarang.
Mendapatkan jawaban demikian, saya belum puas. Jika begitu, semuanya
akan berdosa dong. Wong duit aja ada gambar orang! Kalau memang mutlak
haram, gak bisa beli apa-apa dong duit kan gambarnya orang? Sekian waktu
saya terbelenggu dengan pertanyaan, "Sekejam itukah Allah?" Menggambar
menjadi hal yang tabu. Mau dilakukan tetapi takut. Enggak dilakukan
tetapi gak percaya bahwa Allah seperti itu. Apalagi hanya karena soal
menggambar dan tidak ada rasa ingin menandingi kehebatan-Nya. Masa sih
Dia menyiksa kita? Sekaku dan sekejam itukah Dia? Jika ada tukang gambar
yang baik hati dan bukan tukang gambar tetapi jahat, apakah Allah juga
akan memasukkan tukang gambar yang baik hati ini ke dalam siksa-Nya?
Saya
terus mencari jawaban. Sampai pada akhirnya sebuah buku berwarna merah
(seingat saya judulnya 50 dosa besar) yang terletak di rak buku
kepunyaan kakak saya memuaskan hati saya. Bukan hanya karena buku itu
menyanggah bahwa Allah itu kaku dan kejam, tetapi semakin meyakinkan
saya bahwa Islam adalah agama yang logis dan tidak sepatutnya kita
menelan mentah-mentah apa yang tertulis di dalam Al-Quran dan Hadits.
Dalam buku itu intinya boleh menggambar makhluk hidup sepanjang tidak
dijadikan sebagai sesembahan dikarenakan Nabi tidak marah ketika
istrinya menggunakan benda yang ada gambarnya. Jika kita memahami secara
tekstual, sekilas akan berdosa besar namun akan beda jika kita
melihatnya dari segi kontekstual. Jika memahami bahasa tekstual manusia
saja suka salah paham, apalagi memahami bahasa-Nya? Sejak itu saya
tidak merasa tabu dan takut lagi untuk menggambar makhluk hidup.
Bahasa
Al-Quran dan Hadits adalah bahasa yang literer bahkan sebagian besar
bahasa yang digunakannya adakan bermakna konotatif. Asbabun nudzul dan
tergantung pada kondisi apakah ayat itu diturunkan menjadi salah satu
faktor apa tafsiran dari ayat-ayat suci atau hadits Nabi.
Jika
kita memahaminya mentah-mentah, apakah Allah sekejam & sekaku itu
dengan: memasukkan orang-orang yang celananya melebihi mata kaki ke
dalam murka-Nya (isbal),
memasukkan muslimah yang jilbabnya menyerupai punuk unta ke dalam neraka
atau justru Allah terkesan pilih kasih dengan menjadikan muslim yang berjenggot lebih baik ketimbang yang gak berjenggot?
Jika
dipahami secara bulat-bulat, tanpa memahami dari segi kontekstual,
entah akan ada berapa orang berisbal yang dituduh otomatis akan masuk
neraka, muslimah berjilbab berpunuk unta yang diklaim akan mendapatkan
neraka atau justru akan ada berapa orang yang rela membiarkan jenggotnya
terurai panjang demi syariat Islam.
Faktanya, dalam
larangan berisbal, dalam sebuah hadits dengan jelas Nabi SAW menyebutkan
kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal
ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian
yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan
sifat sombong yang mengiringinya. Sifat inilah yang menjadi alasan
utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang
dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong,
merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Dengan kata
lain, penekanannya itu "tidak boleh sombong."
Lalu soal
punuk unta yang sering digembar-gemborkan di website itu, saya juga
yakin bukan karena jilbabnya menyerupai punuk unta, seorang muslimah
jadi masuk ke neraka. Punuk onta di situ bahasa arabnya menggunakan
istilah kasiyatun ariyatun Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 9/240
menjelaskan hadis diatas mengandung beberapa makna , antara lain :
1. Wanita yang mendapat nikmat Allah Jalla Wa’ala namun enggan bersyukur kepadaNya.
2.
Wanita yang mengenakan pakaian namun kosong dari amalan kebaikan dan
tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan
kepadaNya.
3. Wanita yang tidak menutup auratnya dengan sengaja.
Lalu
soal jenggot juga merupakan kebiasaan orang Arab. Lembaga Fatwa Mesir
(Darul Ifta` Al-Mishriyyah) yang dipimpin Syaikh Prof. Dr. Ali Jum’ah,
hari Senin (7/1/2013) mengeluarkan fatwa yang menjelaskan bahwa
mencukur atau memanjangkan jenggot hanya kebiasaan orang arab dan bukan
perintah syariat Islam. Dalam fatwa itu juga disebutkan, Syaikh Mahmud
Syaltut dalam kitabnya Al Fatawa menuturkan: “Pendapat yang benar
tentang perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berhubungan
dengan cara berpakaian dan penampilan fisik -termasuk di dalamnya
memanjangkan jenggot- adalah bahwa perintah itu menunjukkan kebiasaan
setempat dan seseorang harus menerapkannya sesuai dengan daerah tempat
dia berada. Jika seseorang berada di suatu daerah yang di sana terdapat
satu hal baik menurut kebiasaan warganya, maka dia harus menurutinya.
Jika tidak melakukannya maka dia dianggap sebagai orang yang ingin
mengasingkan diri dari pergaulan sehari-hari.”
Saya
sadar dan mengakui bahwa saya masih perlu banyak belajar lagi soal
agama. Namun terlepas dari apa yang tertulis di Al-Quran dan hadits,
saya berusaha untuk tidak memahaminya secara tekstual, melainkan
kontekstual. Saya menghargai pendapat apapun yang ada namun saya hanya
tidak ingin hal-hal yang sejatinya 'simpel' dan 'dinamis' bagi-Nya
dibuat menjadi lebih 'kaku' dan sebagian malah terkesan Dia itu 'galak'
oleh orang-orang yang memahaminya dari segi tekstual. Sebab saya percaya
bahwa Islam adalah agama yang logis dan Dia adalah Tuhan yang mahaaaaaa
baik.
Tulisannya greget....
ReplyDelete