Tanggal 13 Februari 2015 adalah H-1
kepulangan relawan pengajar Kutakarang 03 dari Kp. Cinibung, Desa
Kutakarang, Cibitung, Pandeglang ke rumah masing-masing. Di hari ini
sejumlah anak SDN Kutakarang 03 yang mayoritas kelas 6 datang ke rumah
sambil membawakan bonteng alias timun suri sekaligus sebagai salam
perpisahan. Mereka datang sekitar jam 7 malam. Melihat mereka kami
merasa terharu. "So sweet", pikir kami. Kami tidak menyangka kalau
mereka merelakan dan "bela-belain" diri datang ke rumah kami usai
mengaji hanya demi 'berpamitan' dengan kami. Padahal, beberapa rumah
mereka letaknya jauh dari rumah kami.
Berhubung hari itu agenda
kami berbenturan dengan waktu pamit dengan sejumlah tokoh dan warga,
kami tidak bisa menemani anak-anak di rumah secara penuh. Oleh karena
itu kami izin pergi sebentar dan sambil menunggu kami balik dari rumah
warga, kami meminta anak-anak untuk membuat minuman timun suri.
Sampai kami pulang dari rumah warga ke 'basecamp' sekitar jam 20.00 WIB,
tidak ada yang aneh. Kami minum minuman bonteng buatan dan bermain
dengan mereka sampai pukul 21.00 WIB. Kami sebenarnya ingin bermain
dengan mereka lebih lama, namun waktunya tidak memungkinkan. Kami
kasihan kepada mereka yang rumahnya jauh. Sepanjang minum minuman
bonteng dan bercanda-tawa dengan mereka, tidak ada satupun yang
bercerita sama sekali.
Barulah keesokkan harinya di pagi hari,
beberapa jam sebelum kami pulang terkuak apa yg terjadi semalam. Di saat
saya dan Linda sedang berada di dapur dan teman-teman yang lain sedang
mandi, dua anak kecil (Opik dan Endi) yg masih kelas 3 SD bercerita
kepada kami kalau semalam saat kami pergi ke rumah warga, ada yang
menangis.
"Kak semalam ada yang menangis." Kata Endi dengan nada polosnya. Opik kemudian mengikutinya.
Saya dan Linda bingung. "Menangis?"
"Iya."
"Dimana?"
"Di belakang rumah."
"Cewek atau cowok?"
"Cewek "
"Siapa yang menangis?" Kami berdua penasaran.
"Enggak tahu."
"Kan kalian di belakang (dapur) buat minuman, setelah dengar suara itu kalian ngapain?"
"Kita semua berlari ke depan rumah karena takut."
Kami bergidik ngeri. Kami tanyakan lagi kepada mereka tentang siapa
yang menangis. Namun informasinya tetap sama. Intinya, semalam ada
seorang perempuan menangis di belakang rumah yang tidak mereka ketahui
siapa itu. Lalu anak-anak yang mendengarnya berlarian ke depan rumah.
Apakah mungkin anak kecil berbohong? Saya percaya bahwa anak kecil
berkata apa adanya. Terlebih Opik dan Endi adalah anak yang manis.
Sejenak pikiran saya melayang-layang ke udara, mencoba menerka-nerka
siapa yang dimaksud oleh dua bocah itu. Ah, tiba-tiba saya teringat
dengan perkataan Endi. Apa jangan-jangan ada hubungannya?
Endi
pernah bercerita bahwa di belakang rumah tempat kami tinggal ada kuburan
adik dan kakak dari anak si pemilik rumah yang sudah meninggal beberapa
tahun silam. Jadi si pemilik rumah punya beberapa anak, namun mereka
semua meninggal hingga tersisa satu anak yang masih hidup dan kini
menjadi anak satu-satunya. Begitulah kebiasaan warga desa Kutakarang.
Jika ada yang meninggal maka biasanya jenazah akan dikuburkan di tanah
sekitar rumah, bukan di tempat pemakaman umum.
Di titik itu saya
menghela napas. Percaya tidak percaya. Semoga saya tidak sedang
berhalusinasi bahwa di saat kita meninggalkan kebaikan untuk orang
banyak dan pulang ke rumah masing-masing, "sosok" lain juga turut
bersedih, berharap kita melakukan kebaikan lebih lama lagi untuk mereka.
Comments
Post a Comment