Sebelum diterjunkan ke Desa Kutakarang, Banten untuk
mengajar dan melakukan pemberdayaan di sana, kami yang saat itu berstatus
sebagai calon pengajar mengikuti berbagai pembekalan tiap minggunya. Pembekalan
pertama diadakan pada Minggu, 10 Januari 2016 dengan membagi 6 kelompok yang berisikan
6 orang.
Baru pembekalan pertama dan berkenalan dengan sesama
calon pengajar, ternyata kami semua mendapatkan tugas yang tidak mudah.
Tugasnya adalah melakukan penggalangan dana alias fundraising sebesar minimal
Rp 2.000.000. Itu artinya dalam sehari minimal kami mendapatkan uang pendanaan
sebesar Rp 333.333. Kegiatan ini dinamakan fundraising battle game karena
seakan ditantang dari 6 kelompok, kelompok mana yang bisa mencapai target 2
juta. Waktunya? Hanya seminggu! Dari 11-17 Januari 2016. Bisa dibilang cuma 6
hari malah, gak sampai seminggu karena di hari ketujuh atau minggu depan kami
sudah harus mengikuti pembekalan lagi pada pagi hari. Demi kelancaran
fundraising, setiap kelompok harus menentukan ketuanya masing-masing.
Nasib sebagai satu-satunya laki-laki yang hadir dalam
kelompok 5 (yg satu lagi absen) secara gak langsung menjadi faktor saya dipilih
oleh teman-teman yang lain untuk menjadi ketua kelompok sekaligus fundraising.
“Aduh, gue kan enggak punya pengalaman soal fundraising!” Pikir saya kala itu.
Saya awalnya menolak karena saat itu bertepatan dengan jadwal UAS sejumlah
matkul. Saya khawatir tidak bisa memegang peran dengan baik. Namun karena
teman-teman kelompok menguatkan saya, akhirnya saya menerima keputusan itu.
Awalnya saya sempat pesimis kelompok kami bisa menggalang
dana sebanyak 2 juta dalam waktu seminggu di tengah-tengah jadwal kami yang
berbeda-beda. Terlebih saat presentasi soal fundraising, kami presentasi dengan
ide yang masih mentah dan belum benar-benar fix.
Sebenarnya sih gak mencapai target enggak masalah dan
enggak bakal dihukum juga, namun tak bisa dipungkiri bahwa ada motivasi
tersendiri untuk memenuhi target bahkan kalau bisa melebihi pencapaian kelompok
lain.
Merasa pembekalan pertama serasa neraka, ah, ternyata
Tuhan Maha Baik! Sehari setelah pembekalan ada saja ide-ide bertebaran yang
masuk. Konsekuensinya, realita di lapangan tidak sesuai dengan rencana awal.
Kami yang awalnya berencana menjual totte bag seketika mengganti ide dengan
konsep fundraising lain, yakni jualan e-book, kalender cinta dan papernation
(jualan kertas). Tanpa pikir panjang kami segera mengeksekusi ide-ide tersebut
menjadi tindakan nyata. Strategi yang kami lakukan adalah dengan cara BC ke
berbagai media sosial yang kami punya.
Hari pertama ide yang dieksekusi adalah jualan e-book. Di
hari pertama penghasilan pendanaan kami hanya mencapai Rp 15.000. Sangat jauh
dari target per hari sebesar 333 ribuan. Sedangkan kelompok yang lain di hari
pertama saja sudah ada yang mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Aduh, gimana
bisa mencapai 2 juta nih? PR besar!
Tapi kami tak menyerah. Pencapaian tersedikit di antara
kelompok lain di hari pertama justru membuat kami menjadi lebih bersemangat.
Kami pikir, ah, baru juga hari pertama. Masih ada 5 hingga 6 hari lagi sebelum
deadline! Tanpa pikir panjang, di hari kedua kami pun mengeksekusi ide
penjualan kertas bekas untuk jadi kertas binder. Adapun di hari ketiga kami
mengeksekusi ide penjualan kalender cinta. Ide untuk menjual kertas sebenarnya
sepintas saja karena di rumah saya kebetulan banyak kertas sisa bekas program
Save Our Papers yang saya dan teman-teman KREATif saya adakan 2012. Sementara
ide kalender terlintas karena momennya pas karena masih tahun baru.
Hari pertama lewat. Begitu pun hari kedua. Sudah memasuki
hari ketiga hasil fundraising sementara kelompok kami baru berjumlah Rp
443.000. Yaduh, masih jauh banget dari target! Padahal jumlah fundraising
kelompok lain sudah lebih banyak dari kami.
Kendati demikian, kami terus berusaha. Dengan
mengandalkan BC ke jejaring sosial, kami sebarkan info soal kegiatan
fundraising kami sehingga semakin banyak orang akan berpartisipasi. Bahkan tak
hanya kalender+ebook+kertas saja, pendanaan juga disumbang melalui goodie bag
wardah. Ceritanya Desember lalu saya menghadiri gala premiere Negeri van Oranje
sebagai hadiah dari lomba blog Mei 2015 lalu.
Berhubung wardah adalah sponsor dari film tersebut, maka
semua hadirin mendapatkannya, termasuk saya. Nah, berhubung goodie bagnya
nganggur, saya berpikir lebih baik dijadikan bahan fundraising. Berkat kerja
sama dari teman kelompok hasilnya lumayan juga. Rp 70.000 masuk ke dana
pendanaan tanpa menggunakan modal sama sekali.
Syukurlah, Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya. Di luar jualan,
pendanaan juga disumbang melalui sedekah oleh sejumlah orang. Saya lupa
jumlahnya berapa, namun yang jelas kami sangat berterima kasih dengan kebaikan
mereka.
Waktu terus bergulir. Akhirnya masa fundraising telah
memasuki hari keempat. Di hari keempat ini kami mendapatkan kejutan dari Tuhan.
Berkat usaha, kerja sama, kesolidan dan semangat sesama anggota kelompok 5,
penggalangan dana yang kami lakukan meningkat drastis di hari keempat.
Puncaknya terjadi ketika seorang dosen memesan kalender sebanyak 101 buah!
Ditambah lagi di hari keempat penjualan e-book juga meningkat beserta pesanan
kalender oleh orang lain.
Akhirnya, dari total fundraising sementara 443ribu
langsung menanjak drastis menjadi Rp 1.973.000. Dari hasil kalender, e-book,
kertas dan juga sedekah. Kami mulai tersenyum. Setidaknya tinggal sedikit lagi
kami mencapai target. Kepercayaan diri kami pun meningkat karena hanya butuh Rp
27.000 saja untuk menggenapi Rp 2.000.000.
Meski demikian, kami berusaha untuk tidak lengah. Kami
terus berusaha melakukan sebaik mungkin dan tidak ingin terlalu cepat puas
untuk hanya mencapai Rp 2.000.000 saja. Target kami sekarang adalah melebihi 2
juta rupiah. Alhamdulillah, jumlah itu akhirnya mencapai target pada hari
kelima dengan hasil sementara sebesar Rp 2.048.000 dan pada hari terakhir
sebesar Rp 2.078.000!
Kelihatannya mulus ya? Tentu saja tidak! Di tengah-tengah
fundraising saya justru kepikiran untuk mengundurkan diri karena merasa belum
layak menjadi ketua atas terjadinya kerikil kecil. Jadi dalam proses pendanaan
jualan e-book saya mencantumkan e-book karya seorang penulis Indonesia tanpa
seizinnya. E-book tersebut sebenarnya gratis dan saya dapatkan melalui webnya.
Namun seorang teman memberitahu kepada saya bahwa ada tim dari penulis tersebut
yang tidak menyetujuinya. Kami jualan e-book sebenarnya bukan untuk kepentingan
pribadi, melainkan untuk hal sosial. Namun mungkin karena belum izin, jadinya
tim penulis tersebut merasa agak keberatan.
Jleb! Di saat itu saya mendadak down dan bahkan ingin
mengundurkan diri. Namun teman-teman di kelompok ternyata menguatkan saya
sehingga kami pun mencari solusi bersama dan terus berlanjut ikut Banten
Mengajar. Akhirnya kami kirim surat permintaan maaf kepada penulis tersebut dan
berjanji untuk tidak mengulanginya di kemudian hari. Syukurlah, si penulis
sangat baik hati dan tidak masalah akan program fundraising yang kami lakukan.
Catatannya, mungkin hanya izin saja jika ingin melibatkan ebooknya di kemudian
hari. Masalah pun selesai. Ketika presentasi mengenai fundraising kami jelaskan
bahwa hal seperti ini sudah menemui titik terangnya dan tidak ada masalah lagi.
Terlepas dari batu kecil yang kami alami, kami merasa
senang karena telah mencapai dan bahkan melebihi target. “We did it!” Kita bisa
guys!” Jujur, kami bahagia. Namun tidak ingin pongah. Setidaknya satu tugas
telah selesai. Yang menarik, selama 1 minggu pelaksanaan fundraising kami
sesama anggota kelompok fundraising tidak pernah bertemu untuk jualan sama
sekali. Saya sih pernah bertemu dengan Ulfa, teman satu kelompok saya di
kelompok 5. Itu pun hanya untuk menerima buku dan memberikan goodie bag wardah
yang telah dipesan oleh temannya. Tapi untuk bertemu secara total, kami tidak
melakukannya sama sekali. That’s the power of team! Terima kasih kelompok 5 :))))
Dari sini saya belajar 2 hal:
1.
Kita lebih hebat dari apa yang kita pikirkan.
Apa yang kita pikir tidak bisa, kenyataannya kita malah jauh lebih bisa. Yang
penting berusaha sebaik-baiknya dan yakinlah bahwa kita bisa menembus batas
yang kita anggap mustahil sebelumnya.
2.
Apalah arti ketua dibanding tim yang hebat.
Jika ada negara yang maju tak semata karena faktor presidennya, namun karena
adanya kerja sama tim antara pemerintah, rakyat dan lainnya. Jika ada anak yang
hebat juga tak semata karena si anak, namun karena kerja sama tim antara ayah,
ibu dan keluarganya. Jika ada atlet yang berprestasi, tak semata karena si
atlet saja, melainkan juga kerja sama antara keluarganya, pelatih, organisasi
olah raga dan sebagainya. Begitu pun dengan lainnya. Kerja sama “TIM” selalu
memainkan peranannya. Ia lebih kuat dibanding apapun dalam suatu kelompok.
Hari-hari fundraising pertama telah berlalu. Kelompok 5
sebagai kelompok fundraising telah bubar. Namun saya harap tidak dengan
kenangannya. Tidak hanya melalui foto atau pengalaman, namun juga dalam hadiah
yang diberikan oleh pihak panitia kepada kami sebagai satu dari dua kelompok
yang mencapai target berupa buku "Guru 12 Purnama". Buku ini
menceritakan pengalaman para guru alumni Sekolah Guru Indonesia.
Di akhir tulisan bolehlah saya berbicara, “Biarlah
fundraising berlalu asal kekuatan TIM terus melaju” ~~
Untuk kelompok 5 (Jerapah): Ka Linda, Ainna, Isna, Mahfud
dan Isna
Comments
Post a Comment