Pukul 19.00 WIB. Belasan anak mengunjungi rumah kami. Satu per satu menyalimi kami. Wajah-wajah yang lugu. Sorot mata mereka menyinarkan secercah harapan. Ada apa gerangan? Biasanya mereka kemari pada siang hari. Tapi ini sudah malam. Kenapa mereka datang di saat hari sudah malam?
Tiba-tiba salah satu dari mereka menunjukkan sesuatu kepada kami. Sebuah kantung plastik berisikan dua buah timun suri. Mereka berkata bahwa itu buat kami. Seketika kami terenyuh. Terharu. Speechless. Di malam yang temaram, mereka rela berjalan kaki dari rumahnya masing-masing yang kami sendiri tidak tahu terletak dimana hanya untuk melakukan satu hal: memberikan timun suri. Perasaan kami berenam bercampur aduk, antara senang maupun sedih.
Kami sebenarnya ingin meladeni mereka saat itu juga. Namun berhubung kami harus berpamitan dengan sejumlah warga di Kampung Cinibung, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, Banten karena besok kami ingin pulang kami terpaksa meninggalkan mereka sejenak dan kami akan kembali lagi nanti.
Kami sebenarnya ingin meladeni mereka saat itu juga. Namun berhubung kami harus berpamitan dengan sejumlah warga di Kampung Cinibung, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, Banten karena besok kami ingin pulang kami terpaksa meninggalkan mereka sejenak dan kami akan kembali lagi nanti.
Malam yang menyesakkan. Malam ini adalah malam terakhir bagi kami berada di sini. Tak terasa sudah dua minggu lamanya saya bersama 5 orang teman mengabdi di SDN Kutakarang 3 yang terletak di pelosok Banten untuk mengajar dan berbagi inspirasi dalam gerakan Banten Mengajar. Besok tiba waktunya bagi kami untuk pulang.
Saya bersama teman-teman relawan pengajar saat memperkenalkan diri (dok. pribadi) |
Seketika pikiran saya melayang-layang terhadap apa yang telah kami lewati dan alami bersama anak-anak Kutakarang 3 selama dua minggu ini. Yang saya dan teman-teman lakukan sebenarnya hal sederhana: hanya bermain, bernyanyi, menggambar, membuat origami, tersenyum hingga tertawa bersama. Menurut saya itu hal remeh temeh, namun ternyata adalah suatu gravitasi bagi mereka. Kehadiran saya dan teman-teman membuat mereka mendapatkan pencerahan untuk meraih bintang setinggi mungkin.
SDN Kutakarang 03 (dok. pribadi) |
Tiada materi yang saya tawarkan, hanya ilmu dan ketulusan. Di titik ini saya sadar bahwa tidak perlu rupawan, punya jabatan atau bahkan berlimpah materi untuk menjadi gravitasi. Ternyata gravitasi bisa dimulai dari hal-hal kecil sesederhana mengajak bernyanyi misalnya. Relawan adalah gerbang dari gravitasi itu sendiri.
Usai berpamitan dengan sejumlah warga, kami kembali ke rumah kosong yang telah kami tinggali selama dua minggu lamanya. Rumah yang penuh kenangan. Kemudian kami berbaur dengan belasan anak Kutakarang 3 untuk menjadi gravitasi sebaik mungkin. Kami bercengkerama dan bercanda sembari menikmati minuman timun suri buatan mereka. Di tengah dinginnya angin malam, tetiba saya merasa sedih. Duh, rasanya baru kemarin saya berbagi tentang bagaimana caranya menggambar, belajar bahasa Inggris, berhitung, mengerjakan soal dan melakukan kegiatan menarik lainnya namun besok harus pulang. Waktu, apa yang kamu lakukan kepada saya itu jahat!
Saya bersama anak-anak SDN Kutakarang 03 saat belajar membuat topeng (dok. pribadi) |
Menebar Inspirasi di Bojong
Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Sudah sejauh manakah saya menebar inspirasi untuk orang banyak?
Dua minggu menjadi relawan pengajar di Banten Mengajar tidak membuat saya berpuas diri. Ibarat berada di tengah padang pasir, saya justru masih merasa haus untuk menjadi gravitasi. Kapankah saya bisa menemukan oase guna memuaskan dahaga saya? April 2016, dua bulan setelah Banten Mengajar saya melibatkan diri sebagai relawan di SDN Bojong 03, Desa Bojong, Tenjo, Bogor.
Tahukah kamu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan dan angka perokok harus ditekan? Itulah yang dilakukan di Bojong. Bersama dua orang sahabat, Citra dan Fajar kami melakukan pengenalan akan bahaya rokok kepada anak kelas 4 dan 5 SDN Bojong 03. Caranya? Tentu dengan cara menyenangkan. Kami ajak mereka berdiskusi, menari bahkan bernyanyi. Kami lakukan kegiatan games juga. Syukurlah, mereka senang. Terlihat dari rona muka mereka yang berseri-seri saat diajak melakukan permainan. Di akhir kegiatan, kami bahkan ajak mereka menulis surat untuk presiden yang isinya permintaan kepada presiden untuk melindungi mereka dari paparan asap rokok. Saya baca satu per satu. Saya terharu. Ternyata di balik usia mereka yang masih kecil, isi suratnya so sweet!
Anak-anak SDN Bojong 3 berpose usai kegiatan (dok. pribadi) |
Sebagai relawan, waktu yang diluangkan di sana hanya sebentar. Hanya beberapa jam saja. Meski singkat, saya berharap semoga gravitasi yang kami pancarkan dapat memberikan inspirasi bagi mereka untuk menjaga kesehatannya dengan tidak merokok di kemudian hari.
Setuju banget dengan Valka yang berbagi kasih dengan cara menjadi "gravitasi" bagi orang orang disekitarnya. Menjadi seorang relawan tidak hanya melibatkan tenaga, waktu dan pikiran, namun juga melibatkan "rasa" dan "hati". Ketika kegiatan kerelawanan berakhir, aku sering kali "rindu" dan caranya agar rasa itu terobati adalah dengan membuka kembali foto atau video kegiatan. Terima kasih ya Valka. Aku jadi ingin lebih tahu banyak mengenai smartphone Luna yang aku rasa bisa membantu aku mengabadikan berbagai kenangan :)
ReplyDeleteHai alkalinda. Bener banget. ;)
DeleteWah ulasan yg menarik. Jadi kepengen beli Luna Smartphone guna mendukung rutinitas sehari-hari!
ReplyDeleteAsiiiik. Beli lah Ri kan banyak duitnya hoho
DeleteMantap memorinya gan!
ReplyDeleteIya dong. Luna gitu
Delete