Pernahkah Anda mendengar kata dolbon?
Awalnya saya tidak pernah. Namun sejak
terlibat sebagai relawan pengajar di Banten Mengajar angkatan I pada
Februari 2016 lalu, saya suka mendengarnya dan akhirnya memahami
maknanya.
Dolbon
merupakan akronim dari modol di kebon. Dalam Bahasa Sunda, modol
berarti buang air besar sedangkan kebon berarti kebun. Jadi modol adalah
buang air besar di tempat terbuka, biasanya di kebun atau tempat yang
memiliki banyak pohon. Keterlibatan saya di Banten Mengajar sejatinya
hanya fokus pada bidang pendidikan saja. Namun tinggal di Banten,
tepatnya Kampung Cinibung, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung,
Kabupaten Pandeglang selama dua minggu membuat saya mau tak mau harus
bersinggungan juga dengan kebiasaan mereka. Salah satu kebiasaan yang
masih sering dilakukan oleh mayoritas warga sana hingga sekarang adalah
dolbon alias poop in outdoor.
Kampung
Cinibung, Desa Kutakarang, Cibitung terletak di pelosok Pandeglang,
Banten. Meski berada di Pulau Jawa, infrastruktur di sana masih buruk.
Edukasi soal pentingnya BAB dengan cara yang baik masih minim. Dolbon
adalah hal lumrah. Faktanya, mayoritas penduduk di sana tidak memiliki
WC atau jamban. Sebagian besar memiliki kamar mandi namun tanpa jamban,
lainnya tidak memiliki kamar mandi sama sekali dan memanfaatkan sungai
untuk kegiatan MCK. Adapun jumlah penduduk yang memiliki WC bisa
dihitung dengan jari. Hanya beberapa aparat desa dan pustu (puskesmas
pembantu) saja yang memilikinya.
Inilah
yang menarik. Di sana terdapat beberapa WC umum. Satu terletak di SDN
Kutakarang 03 dan lainnya terletak di lingkungan warga. Sayangnya,
keduanya belum bisa dimanfaatkan dengan baik. WC umum di SD tidak
memiliki akses air. Jadi jika ingin menggunakan jamban kita harus
membawa air dari rumah atau sungai untuk menyiram kotoran yang telah
dikeluarkan. Bisa saja warga melakukannya dengan mengambil air terlebih
dahulu. Namun kenyataannya tidak ada yang memraktekkannya. Pun dengan WC
umum di lingkungan warga. Tempatnya sudah dibangun tetapi warga juga
tidak menggunakannya dengan baik. Seolah ada hukum tak tertulis bahwa,
"Kalau bisa dolbon, untuk apa BAB di WC?" Akibatnya fasilitas tersebut
terbengkalai.
Minimnya
infrastruktur memang menjadi faktor penyebab dolbon. Namun itu bukanlah
penyumbang terbesar dari kenapa masyarakat sana masih suka melakukan
kebiasaan itu. Buktinya di sana sudah tersedia fasilitas tapi mereka
tetap saja dolbon. Ketimbang membangun jamban, mereka justru memiliki
alat pemancar saluran TV yang harganya tidak murah. Padahal jamban
adalah investasi jangka panjang. Kurang aktifnya stakeholder
setempat dalam menggerakkan warganya untuk peduli sanitasi juga menambah
daftar panjang masalah sanitasi di sana. Itu artinya, pembangunan
infrastruktur sanitasi penting untuk dilakukan diikuti dengan kesadaran
warga setempat.
OPTIMISME BERSAMA EMCEKAQU
Tidak
banyak anak muda yang terlibat dan peduli dalam masalah 'buang-membuang
hajat' manusia, namun Ainna Fisabilla justru nekat terlibat. Sebagai
alumnus Banten Mengajar angkatan I yang satu tim dengan saya di
Cinibung, Ainna melakukan suatu hal yang luar biasa. Setelah Banten
Mengajar usai, ia mendirikan gerakan sosial berbasis kewirausahaan yang
berfokus pada sanitasi bernama Emcekaqu. Tujuannya sederhana namun
bermakna, yakni agar masyarakat desa bisa hidup lebih bersih dengan
adanya WC. Kebiasaan BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di tempat
pengabdiannya selama Banten Mengajar membuat ia memilih Cinibung sebagai
target pertama dari program Emcekaqu.
Ainna percaya bahwa dolbon adalah perilaku yang buruk karena dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Salah satunya adalah diare, dimana 36 anak per 1000 kelahiran meninggal
karena diare. Untuk itulah mahasiswi keperawatan ini mendirikan
Emcekaqu. Melalui Emcekaqu, Ainna dan sejumlah temannya melakukan
pemberdaan masyarakat. Caranya? Dengan mengadakan pelatihan pembuatan
rengginang aneka rasa. Kemudian sebagian penghasilan yang didapatkan
akan disisihkan untuk pembangunan WC. Output yang diinginkan
adalah terciptanya infrastruktur sanitasi yang memadai hingga mampu
memotivasi para warga untuk berlomba-lomba memiliki WC sendiri. Kalau
memiliki alat pemancar saluran TV saja bisa, apalagi WC?
Tiada
hasil tanpa proses. Perjalanan Emcekaqu untuk mencapai tujuan tentu
tidak mudah apalagi usianya masih seumur jagung. Butuh komitmen dan
proses yang luar biasa untuk dapat menggapai tujuan. Sejauh ini Emcekaqu
sudah melakukan sosialisasi dan telah melakukan tester
pembuatan produk rengginang. Walau tidak semudah membalikkan bakwan
udang, Ainna sangat optimis jika Emcekaqu mampu membuat sesuatu yang
berarti untuk Indonesia, terutama Cinibung. Tidak sekadar menumbuhkan
kesadaran akan kesehatan dan kebersihan tetapi juga memberikan peluang
usaha lewat bisnis rengginang.
Zaman
boleh semakin modern dan makin millenial. Namun masalah sanitasi masih
jadi belenggu. Apa yang Emcekaqu lakukan menjadi inspirasi bagi
siapapun. Namun Emcekaqu tidak bisa berjalan sendiri. Dukungan dari stakeholder setempat
amat dibutuhkan. Yang terpenting, adanya kemauan yang kuat dari para
warganya untuk berubah. Apalah artinya infrastruktur memadai tapi
warganya tidak berubah? Untuk itulah Emcekaqu juga melakukan
pemberdayaan. Sebab bicara infrastruktur, tidak semata membangun
"benda", namun juga "pola pikir". Saatnya (warga) Cinibung mampu
mengubah wajahnya; dari dolbon oriented menjadi WC oriented. Mari kita doakan.*
*gambar: www.emcekaqu.com
Comments
Post a Comment