Akhirnya tiba di Stasiun Bogor |
Sholat Maghrib di Masjid At Ta'awun
Masjid At Ta'awun adalah lokasi pertama yang kita kunjungi selama mampir ke Puncak. Kebetulan Maghrib sudah tiba sehingga sudah waktunya bagi kita berempat untuk melakukan ibadah di sana.
Masjid At Ta'awuun pada siang hari (dok. duniamasjid.islamic-center.or.id) |
Ngomongin soal Masjid At-Ta'awun, ini bukan pertama kali gue mampir ke sana, melainkan sudah kedua kalinya. Pengalaman pertama kali terjadi pada Mei 2016, tepatnya saat gue ikutan pelatihan Pencacah Sensus Ekonomi 2016 di Bogor. Berkunjung kembali ke sana seketika membuat gue merasa flash back atas kunjungan 6 tahun silam.
Kita berempat tiba di Masjid At-Ta'awun sekitar pukul 18.50 WIB. Selepas memarkirkan sepeda motor di tempat parkir dan meletakkan sepatu, kita langsung bergegas ke dalam masjid dengan menaiki puluhan anak tangga. Hujan yang sempat mengguyur Bogor membuat suasana terasa dingin dan kabut terlihat samar-samar saat berada di sana.
Havid, Alan dan Dinar saat menaiki tangga Masjid At Ta'awuun |
Menghabiskan Malam yang Dingin di Warpat
Selesai dari Masjid Atta'awun, kita berempat memutuskan untuk melepas rasa lapar di Warpat. Dinar yang ngidein untuk mampir ke sana.
Warpat sendiri adalah singkatan dari Warung Patria. Tempat wisata kuliner ini terletak di perbatasan Puncak-Cianjur, Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor. Bisa dibilang, warpat adalah salah satu ikon wisatanya Puncak. Kalau ke Puncak, enggak lengkap deh kalau belum ke sana!
Warpat pada malam hari (dok. detik.com/Ismet Selamet) |
Dari segi pilihan kuliner atau konsep tempat, warpat ini sebenarnya biasa aja sih. Soalnya warpat hanya berupa sederetan warkop yang sebenarnya bisa ditemuin di Jakarta. Menunya ya menu-menu warkop pada umumnya seperti mie rebus dan teh manis.
Desain interiornya pun enggak ada estetique-estetiquenya sama sekali. Bangku dan meja yang disediakan di warpat biasa aja. Dengan tembok yang dicorat-coret secara tidak terkonsep, warpat bahkan cenderung kurang terawat. Kurang kece lah pokoknya buat foto-foto.
Nah, yang bikin warpat ini beda dengan warkop-warkop di Jakarta terletak pada suasana dan panorama pemandangan yang disajikan. Lantaran berada di dataran yang cukup tinggi, suasana di Warpat tuh dingin banget. Apalagi kalau kita mampir ke area terbuka yang ada di bagian paling belakang, anginnya kenceng abis! Siap-siap bawa jaket karena rasanya butuh kehangatan kalau mampir ke sana.
Yang bikin beda lagi, warpat menyajikan pemandangan yang (sebenarnya) dapat memanjakan mata. Kalau datang pada pagi atau siang hari, kita dapat menikmati sedapnya mie rebus dan hangatnya bandrek sembari melihat hamparan perkebunan teh yang begitu menawan. Hal seperti ini tentu tidak bisa kita temukan kalau mampir ke warkop di Jakarta. Nah, inilah yang menjadi kelebihan warpat dibandingkan warkop lainnya.
Suasana warpat pada pagi hari (dok. bogor.tribunnews.com/Tsaniyah Faidah) |
Spirited Away, animasi Ghibli tentang dimensi lain |
Herannya, di saat gue kedinginan, Havid malah dengan santuynya ke Warpat tanpa pake jaket sama sekali. Yap, dia cuman pake kemeja lengan panjang tanpa jaket. Itu pun dia sempat lepasin kemejanya sehingga dia sempat cuman pake kaos aja.
Tapi apapun itu, Havid bilang kalau dia emang sengaja gak pake jaket dan cuman kaos doang karena emang pengen nikmatin dinginnya suasana di Warpat. Ibaratnya, kalau dingin ya dingin sekalian. Jangan tanggung-tanggung. Nah, mungkin karena udah diniatin, daya tahan tubuhnya jadi kuat sehingga dia merasa biasa aja saat angin warpat berhembus kencang. Salut sih!
Sembari menikmati dinginnya angin di warpat, kita memesan berbagai menu berbeda. Gue sendiri memesan mie rebus pake telor, nasi dan bandrex. Ini dia uniknya warpat. Gak kayak warkop pada umumnya yang menyediakan menu dengan lampiran daftar harga, warpat justru gak menyediakannya sama sekali.
Di warpat kita enggak bakal nemuin daftar harga di menu. Daftar harganya disembunyiin dan kita baru tahu harga aslinya saat kita mau bayar. Jadi harganya suka-suka, tergantung mood abangnya karena dia bisa matokin harga berapa aja.
Gue, Havid dan Dinar yang enggak tahu harganya berapa pun ketar-ketir karena takut harganya kemahalan dan kita disuruh nyuci piring karena uangnya enggak cukup. Sementara Alan yang merupakan anak pejabat santuy karena berapapun harganya bukan masalah. #haseek
Tak lama setelah memesan, makanan pun datang. Sambil menikmati makanan masing-masing, kita ngobrol satu sama lain. Ngobrol apa aja, salah satunya soal cewek.
Ya seperti biasa, bukan Dinar dan Alan namanya kalau enggak berdebat satu sama lain. Dimana pun dan kapan pun, ada aja yang diributin. Bahkan jauh-jauh ke warpat, perdebatan di antara mereka terjadi lagi wkwk
Gue lupa detailnya karena apa, tapi lucu aja ketika mereka adu argumen satu sama lain terus gak ada yang mau ngalah. Saat menemui titik buntu, Dinar sampe ngakuin kalau Havid adalah abangnya dan Alan enggak bisa macem-macem karena harus berhadapan dengan abangnya dulu. "Abang gue nih!" kata Dinar sambil menunjuk Havid.
Sebaliknya, Alan yang gak mau kalah tiba-tiba ngakuin gue sebagai abangnya sehingga Dinar juga enggak bisa macem-macem ke dia. "Abang gue nih!", kata Alan. Gue dan Havid yang gabung ke gerakan nonblok pun geleng-geleng kepala. Kita memilih untuk netral biar mereka baku hantam satu sama lain karena kita sebenarnya suka keributan.
Oh ya, selama di warpat, kita enggak hanya berempat saja. Kita juga janjian sama Kang Alip yang dulunya adalah anak Komplek di kantor. Bersama ayangnya, Bolip memutuskan buat datang. Rasa rindu yang begitu mendalam dengan Alan Sportstars membuat ia terlihat sumringah bukan main saat bertemu dengan Alan.
Bolip dan sang istri sebenarnya warga Bogor juga kayak Alan. Tapi seumur-umur tinggal di Bogor, mereka mengaku belum pernah sama sekali mampir ke Warpat. Mungkin karena mereka warga lokal dan lokasinya dekat dari rumah kali ya, jadi mereka males buat mampir ke Warpat. Alhasil, kedatangan mereka saat itu jadi pengalaman pertama mereka ke Warpat. Kedatangan mereka pun membuat obrolan malam semakin seru.
Foto dulu di Warpat (dokpri) |
Menikmati Menu Vegetarian di Mamifokobo
Puas berada di Warpat, kita kemudian memutuskan untuk pergi ke Mamifokobo. Ini adalah pengalaman pertama gue, Alan, Havid dan Dinar berkunjung ke sana. Mamifokobo sendiri adalah tempat makan yang menyediakan makanan berbasis vegetarian. Sekilas sih nama tempatnya ini kejepang-jepangan. Tapi sebenarnya menu yang ditawarkan di sana bervariasi alias enggak spesifik menu Jepang.
Mamifokobo (dok. tribunjakarta.com/Pebby Ade Liana) |
Dengan area yang cukup luas dan desain interior yang menarik, menurut gue resto ini juga cocok dibooking untuk selebrasi acara spesial seperti pesta ulang tahun dan gathering. Enggak perlu khawatir jika ingin sholat karena di sini tersedia musholla yang cukup nyaman di bagian belakang.
Pilihan makanan yang lebih modern dan bangunan yang lebih bagus membuat harga menu di mamifokobo terbilang lebih mahal dibanding warpat. Harga menu di sini rata-rata dimulai dari Rp20 ribuan.
Gue tadinya pengen mesen nasi. Tapi berhubung udah makan mie rebus di warpat, gue memutuskan untuk memesan menu berbeda. Dari berbagai menu yang ada, gue memesan Poffertjes, sejenis kue tradisional khas Belanda berbentuk bulat pipih. Kue ini sekilas mirip seperti kue cubit di Indonesia namun dengan rasa yang tawar.
Aslinya, poffertjes itu hanya ditaburi gula bubuk. Namun karena gue udah pernah coba poffertjes rasa orisinal di Pasar Belanda, gue memutuskan untuk memesan poffertjes yang sudah dimodifikasi. Berhubung gue suka matcha, maka gue memilih poffertjes rasa matcha. Lumayan lah ya rasanya.
Poffertjes ala Mamifokobo |
Berbeda dengan gue, Havid memesan ramen tomyam. Dinar memesan kopi, Alan memesan spaghetti sementara Alif beserta istrinya memesan kentang goreng plus mushroom soup. Sembari menikmati makanan masing-masing, kita bercengkerama bersama.
Saatnya Nginep di Rumah Alan Sportstars!
Malam semakin larut. Sekitar jam 23.30, kita berenam memutuskan untuk pulang. Alif dan istrinya pulang ke rumahnya. Sementara itu, gue, Havid, Dinar dan tentunya Alan pulang ke rumah Alan buat nginep. Gue yang semotor dengan Alan berada di depan karena Alan adalah seorang Akamsi (Anak Kampung Sini) sehingga ia lebih paham jalannya. Smentara Dinar yang semotor dengan Havid mengikuti dari belakang.
Semula perjalanan berjalan dengan lancar. Namun begitu hari sudah berganti jadi 6 Maret 2021 dan waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB, kita sempat terpisah. Alhasil, gue bersama Alan menyusul Havid dan Dinar di dekat transmart karena mereka sedang berada di sana.
Comments
Post a Comment