Sejak 2010, bulan Juni dan Juli selalu
memiliki kenangan tentang momen-momen indah dalam hidup saya. Termasuk Juni
ini. Untuk kesekian kalinya, Juni menjadi bulan paling berharga dalam hidup
saya.
Saya
merasa sangat beruntung karena pada tahun ini saya dipilih sebagai salah satu
dari 8 perwakilan provinsi DKI Jakarta (tepatnya Forum anak Jakarta) yang akan menjalankan
‘tugas’ di Forum Anak Nasional 2012 yang belum lama ini berlangsung di Lembang,
Jawa Barat pada 25 – 28 Juni 2012. Beberapa minggu sebelum hari H, Ibu Dyah,
pembimbing saya di BPMPKB prov. DKI Jakarta mengirimkan pesan kepada saya via
pesan fb. Dia meminta saya untuk menjadi salah satu wakil yang akan berangkat
ke Lembang dengan alasan di sana saya menjadi translator karena akan ada
peserta dari Asia Pasifik.
Mulanya sih saya agak ragu karena saya tidak terbiasa berbicara bahasa Inggris. Seperti kita ketahui lah, Indonesia adalah negara non Inggris yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya. Tapi lantaran Ibu Dyah yakin kalau saya bisa dan masalahnya hanya pada kata ‘belum mencoba’ dan bukan ‘tidak bisa’, akhirnya ya sudah lah saya ‘iya kan’ saja. Banyak orang-orang gagal karena menyia-nyiakan kesempatan. Saya juga berpikir kesempatan tidak datang dua kali. Lagipula belum tentu tahun-tahun berikutnya saya bisa ikut sebagai peserta FAN 2012. Jadi apa salahnya saya menerima tawaran Ibu Dyah.
Mulanya sih saya agak ragu karena saya tidak terbiasa berbicara bahasa Inggris. Seperti kita ketahui lah, Indonesia adalah negara non Inggris yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya. Tapi lantaran Ibu Dyah yakin kalau saya bisa dan masalahnya hanya pada kata ‘belum mencoba’ dan bukan ‘tidak bisa’, akhirnya ya sudah lah saya ‘iya kan’ saja. Banyak orang-orang gagal karena menyia-nyiakan kesempatan. Saya juga berpikir kesempatan tidak datang dua kali. Lagipula belum tentu tahun-tahun berikutnya saya bisa ikut sebagai peserta FAN 2012. Jadi apa salahnya saya menerima tawaran Ibu Dyah.
Kalau
boleh jujur, untuk acara yang melibatkan anak dan remaja skala nasional, ini
bukan kali pertama saya turut berpartisipasi. Sebelumnya saya pernah mengikuti
Creative Writing Workshop 2010 di Yogya sebagai 20 besar penulis muda UNICEF
Indonesia 2009, Forum Pemimpin Muda Nasional 2010 di Cibinong sebagai
perwakilan penulis muda Indonesia dan terakhir adalah Kongres Anak Indonesia X di
Bandung sebagai perwakilan provinsi DKI Jakarta & penulis muda (baca :
KREATif). Nah, untuk FAN, jujur saya belum pernah mengikuti sebelumnya.
Bicara
tentang FAN 2012, bisa jadi FAN kali ini adalah FAN pertama dan terakhir dalam
hidup saya sebagai peserta. Sebenarnya tahun 2010 lalu saya dan seorang ‘adik’
saya pernah diajukan untuk mengikuti FAN. Namun karena tidak ‘lolos’, jadinya
hanya teman saya saja yang berangkat. FYI, batas maksimum usia untuk mengikuti
FAN adalah batas maksimum usia anak-anak, 18 tahun. Sedangkan tahun depan saya
sudah 19 tahun yang artinya tahun depan saya tidak bisa lagi menjadi peserta
FAN 2013. Menurut undang-undang, usia anak-anak berawal dari 0 hingga 18 tahun.
Jadi ketika ada individu yang berusia 19 tahun, itu artinya ia sudah
menanggalkan status sebagai anak. Beda halnya untuk menjadi L.O. atau
pendamping, saya masih berpeluang karena boleh lebih dari 18 tahun.
Senin, 25 Juni 2012
Kami berdelapan (tidak termasuk
pendamping dan sopir), yakni saya, Didin, Fitro, Pian, Tea, Metta, Ayu dan
Febra berangkat dari Jakarta, tepatnya dari kantor BPMPKB menuju Lembang, Jawa
Barat pada pukul 09.30 WIB. FYI, beberapa hari sebelum hari H, kami telah
mempersiapkan apa-apa saja yang hendak dibawa dan dipamerkan di kantor BPMPKB.
Mulai dari souvenir, barang pameran, gambar bahkan hingga brosur seputar anak. Jadi
begitu hari H tiba, kami tinggal berangkat saja, tidak perlu mempersiapkan
lebih dalam lagi.
Kami berangkat ke sana dengan
menggunakan 2 mobil. Jadi dari sekian orang yang ikut FAN, kami membaginya ke
dalam dua kelompok. Yang pertama ada di mobil biru sedangkan yang satu ada di
mobil hitam. Nah, kebetulan saya ada di mobil hitam, satu mobil dengan Ibu Dyah,
Kak Nita dan Pak Burhan yang bertugas sebagai pendamping.
Beda halnya dengan Jakarta yang sepanjang
jalan hanya ditemui gedung-gedung bertingkat, ternyata Lembang begitu indah.
Sepanjang mata memandang, terhampar pepohonan yang setia berdiri di samping
kanan dan kiri jalan. Mereka seakan tersenyum sembari menyapa kami. Belum lagi
dengan cerahnya langit dan semilir angin sepoi-sepoi, menambah keindahan
Lembang.
Tak terasa sudah sekitar 4 hingga 4,5
jam kami melakukan perjalanan (waktu dipotong dengan istirahat satu jam). Pukul
14.00 WIB kami tiba di lokasi, tepatnya di hotel Panorama, Lembang, Jawa Barat.
Bentuknya sih tidak mirip seperti hotel, tetapi lebih kepada wisma karena tidak
seperti hotel-hotel pada umumnya yang bertingkat.
Setelah
melakukan registrasi dan menerima berbagai atribut yang berkaitan dengan FAN,
kami menunggu giliran untuk sesi pemotretan bersama Ibu Menteri, yakni Ibu
Linda Amalia Sari. Sembari menunggu antrian, kami diajak untuk masuk ke kamar
oleh L.O. kami masing-masing. Kebetulan L.O. saya adalah Devin. Usai
berkenalan, Devin mengajak saya ke kamar nomor 408, kamar paling pojok dan
kamar dimana saya akan berkenalan dengan 6 kawan lainnya dari berbagai provinsi
di Indonesia. Oh ya, di depan pintu kamar 408 tertempel sebuah kertas
bertuliskan “Kelara : Pengasuhan”. Ya, saya bersama 6 teman saya yang lain
masuk dalam kelara alias kelurahan ramah anak di bidang pengasuhan.
Devin
berkata bahwa baru ada satu roommate saya yang sudah tiba di Lembang. Mulanya
saya mengira bahwa kamar saya kosong lantaran teman sekamar saya itu sedang ada
di luar. Namun begitu saya hendak pergi ke kamar mandi, tiba-tiba seseorang dengan
memakai handuk keluar. Seketika saya berkenalan dengannya dan menanyakan dari
mana asal provinsinya. Hielmy adalah teman sekamar saya yang pertama kali saya
kenal. Dia berasal dari daerah yang terkenal dengan ‘keraton’nya, apalagi kalau
bukan Daerah Istimewa Yogyakarta alias DIY.
Kami
sempat berbincang-bincang sejenak. Hielmy berkata bahwa ia sebenarnya berasal
dari Ciamis, Jawa Barat namun kini bermukim di Yogya. Sejujurnya kami ingin
berbicara banyak. Namun lantaran sebentar lagi giliran provinsi DKI Jakarta
untuk berfoto bersama ibu menteri, akhirnya perbincangan kami tak berlangsung
lama. Saya lantas mandi, memakai kemeja batik berwarna hijau lalu bergegas
kembali ke tempat semula. Dan ternyata benar saja, tak lama setelah itu
provinsi DKI Jakarta dipanggil untuk berfoto. Namun sayang, kami berfoto tanpa
Metta karena ia tak kunjung kembali ke tempat semula.
Ini dia foto kita lagi sama Bu Menteri :DDD Sayang, Metta gak ikutan ~D~
Akhirnya
sesi pemotretan selesai. Kami pun kembali ke kamar kami masing-masing.
Setibanya di sana, saya kembali bertemu dengan orang baru. Saya lantas
berkenalan dengannya. Dia bernama Arga, wakil dari provinsi Riau namun sebenarnya
orang tuanya berasal dari Sumatera Barat. Ketika menuliskan jurnal ini,
tiba-tiba saya jadi teringat dengan kata-katanya ketika pertama kali
berkenalan. Ia membandingkan namanya dengan kata ‘harga’. “Ingat saja kata-kata ‘harga yang mahal’ ”,
katanya kala itu. Namanya ‘Arga’ memang mirip-mirip dengan kata ‘harga’.
Tak
lama berkenalan dan berbincang-bincang sejenak, saya keluar sebentar. Saya lupa
waktu itu sedang ‘ngapain’, tapi yang jelas saya ingat bahwa saya sempat
keluar. Nah begitu saya kembali beberapa menit kemudian, lagi-lagi saya bertemu
dengan orang baru. Kali ini dua orang. Pertama adalah Ferry asal Polewali
Mandar, wakil provinsi termuda di Indonesia, yakni Sulawesi Barat. Kala itu
Ferry baru selesai mandi dan ia bergegas merapikan diri. Ia kini naik ke kelas
3 SMA. Sedangkan yang kedua adalah Rizky, asal tuan rumah, yakni Jawa Barat,
tepatnya di Depok. Ia masih duduk di bangku kelas 2 SMP (seingat saya).
Oh
ya, di FAN, saya menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu’, baik kepada para peserta
FAN perempuan maupun yang laki-laki. Sebab kata ‘gue’ dan ‘elo’ bukan pada
tempatnya jika digunakan di FAN sebagaimana kebiasaan orang-orang di Jakarta
yang biasa menggunakan kata-kata itu sebagai bahasa sehari-hari. Lagipula kata ‘gue’
atau ‘elo’ juga terdengar kasar dan bukan merupakan bahasa Indonesia sedangkan
FAN berbicara tentang karakter bangsa.
Well,
kini sudah ada lima orang di dalam kamar dari provinsi dan etnis yang
berbeda-beda : Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Sulawesi Barat – Betawi-Jawa (yang ini saya), Sunda, Jawa (Ferry pendatang dari
Jawa Tengah namun sudah menetap lama di Sulbar) dan Minangkabau. Eits.. tapi
ini baru sementara lho… karena masih ada 2 orang lagi yang belum datang.
Setelah saling berkenalan, kami ngobrol
satu sama lain seputar apa yang khas dan masalah anak di daerahnya
masing-masing. Namanya juga forum anak, jadi misi mengapa kami dikumpulkan
dalam event ini adalah demi memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak anak dari
seluruh Indonesia.
Maghrib
tiba. Akhirnya kami sholat berjamaah di kamar. Nah, di sini saya benar-benar
merasa betapa indahnya suatu perbedaan dan betapa bangganya saya sebagai bangsa
Indonesia karena sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang kaya. Meski ada dari kami
yang bukan beragama Islam, tetapi ia menghargai dan menghormati ketika kami
beribadah. Sungguh, saya sangat rindu dengan hal-hal seperti ini dimana tidak
ada perang antar etnis apalagi antar agama seperti yang sering diberitakan di televisi-televisi.
Apakah perbedaan diciptakan untuk saling memusuhi? Saya rasa tidak.
Begitu
hari menjelang malam, kami semua –kecuali Rizky- keluar kamar untuk makan malam
bersama. Tak lupa saya membawa kamera kalau-kalau ada sesuatu yang perlu
didokumentasikan. Setelah kami mengambil makanan, kami duduk di meja bundar saling
bertatap muka. Kebetulan kala itu Rizal, asal DIY turut bergabung bersama kami.
Sembari menyantap hidangan yang telah disediakan, kami pun berdiskusi satu sama
lain yang temanya tak jauh dari masalah anak dan cerita seputar daerah
masing-masing. Diskusi ini sungguh unik. Sebab ketika diskusi, saya mendengar
beragam logat dan dialek yang berbeda dari masing-masing kawan baru saya. Lucu
aja.. hehe.
Dari
sekian banyaknya masalah anak, rata-rata bercerita bahwa di daerah
masing-masing ada kasus anak yang dipekerjakan. Sedangkan untuk kasus pengamen
atau gelandangan anak, DKI Jakarta menjadi yang paling ‘kompleks’. Nah, dari
cerita teman-teman saya dapati sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya masalah anak
di seluruh Indonesia itu sebenarnya sama. Hanya kadar dan cara penanganan
terbaiknya saja yang berbeda-beda.
Seusai
makan malam, kami masuk ke dalam ruangan untuk mengikuti kegiatan diskusi
bersama Ibu Linda Amalia Sari dan Ibu Netty, istri gubernur Jawa Barat. Pertama
kali saya masuk, saya bertemu dengan seseorang yang wajahnya pernah saya lihat
sebelumnya. Ternyata dia adalah Adel, duta anak Riau yang pada tahun lalu
pernah mengikuti Kongres Anak Indonesia dan pernah bertemu dengan saya
sebelumnya. Kami sempat berbicara sejenak.
Suasana Forum Anak Nasional 2012 :DDD
Berhubung saya ingin membaur dengan teman-teman yang lain, saya memilih untuk tidak bergabung dengan teman-teman yang berasal dari provinsi yang sama. Saya ingat benar waktu itu dengan pedenya kami, yakni saya, Hielmy, Adel, Arga, Ferry, Rizal dengan mengenakan sandal hotel berwarna pink –kecuali Adel yang memakai sepatu- duduk di tempat duduk bagian kiri baris kedua dari depan. Baru beberapa menit kami duduk di sana, tiba-tiba seseorang meminta kami untuk tidak berdiri di barisan paling depan karena tempat duduk itu hanya diperuntukkan bagi MC. Alhasil, dengan malu ditambah lantaran mengenakan sandal hotel warna merah muda, kami pun bangkit dari tempat duduk kami lalu duduk di barisan tengah-tengah. Saya masih ingat urutan duduknya. Urutan duduknya semula dari paling kanan (pinggir) ke kiri : Arga, saya, Adel, Hielmy dan Rizal. Namun setelah Arga pindah ke kursi lain, akhirnya saya jadi yang berada di paling pinggir. Oh ya, seingat saya Ferry juga duduk di tempat duduk lain.
Akhirnya
acara yang dinanti-nanti mulai. Apalagi kalau bukan diskusi bersama Ibu Menteri
disambung Ibu Netty. Ini kali keduanya saya bertemu dengan Ibu Netty setelah
sebelumnya di Bandung Ibu Netty juga sempat menjadi pembicara dalam Kongres
Anak Indonesia. Ada kata-kata yang sangat saya sukai dari pidato Ibu Netty. Ia
berkata, “Knowlede is power, but
character is more.”. Simpel, tapi artinya sangat bermakna.
Selamat bagi para TMPI 2012 terpilih!! :DDD
Lanjut ke acara berikutnya, nah ini dia acara yang ditunggu-tunggu, yakni acara penganugerahan bagi TMPI alias Tunas Muda Pemimpin Indonesia terpilih. Kira-kira siapa ya yang terpilih tahun ini? Penasaran? Tunggu-tunggu... Jeng.. jeng... TMPI kali ini jatuh kepada.... tangan si dedek! Siapa lagi kalau bukan Gayatri KREATif (Yeaaayyy!!) dari NTB. Selain Gya, Piyan dari DKI Jakarta, Jazelyn dari DIY, Desy dari Maluku, Geno dari Sumbar dan Rizki Amelia dari Kalbar juga terpilih sebagai TMPI 2012 :DDD Selamat buat para TMPI terpilih!! ^__________^
Usai penganugerahan, kini tiba waktunya pertunjukkan. It’s show time! Tak lama berselang penganugerahan, kami disuguhi dengan pertunjukkan musik oleh grup musik Pakuan binaan Ibu Netty. Ada beberapa lagu yang dimainkan. Tetapi yang saya ingat hanyalah lagu ‘Pasti Bisa’ Citra Scholastika dan ‘Bendera’-nya Cokelat. Ini dia momen-momen yang tidak pernah terlupakan dalam hidup saya. Begitu lagu dimainkan, semua peserta FAN 2012 yang berjumlah hampir 300 (kuota masing-masing provinsi 8 orang) maju ke depan, membentuk lingkaran, berpegangan tangan, loncat-loncat lalu berjoged bersama. Apalagi pas lagu Bendera dimainkan, saya benar-benar merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia. Kami semua belum mengenal 100% satu sama lain lho… tapi pada malam ini, musik berhasil menyatukan kami. Tak peduli dari mana kami berasal, etnis apa kami, agama apa kami, yang pasti Indonesia itu satu. (Y)
Tak puas dengan penampilan grup musik Pakuan, kami kembali disuguhi penampilan angklung dari Saung Angklung Mang Udjo. Seketika saya merasa “De Javu” karena tahun lalu saya juga memainkan angklung namun di saung angklung mang udjonya secara langsung. Setelah para peserta FAN duduk di tempat duduknya kembali, kami diberikan angklung masing-masing orang satu buah.
Angklung
yang kami dapatkan berbeda-beda. Setiap angklung bertuliskan nama-nama pulau di
Indonesia. Misalnya angklung bertuliskan kata ‘Sumatera’ untuk angklung bernada
‘do’, angklung bertuliskan kata ‘Jawa’ untuk nada ‘re’ dan seterusnya.
Kebetulan saya mendapatkan angklung bertuliskan ‘Maluku’ yang bernada ‘la’.
Mulanya
instruktur angklung memberikan kami instruksi terhadap bagaimana cara memainkan
angklung secara bersama-sama. Jadi kalau misalnya tangan si instruktur mengepal
seperti batu, maka orang yang memegang angklung bertuliskan ‘Sumatera’ alias ‘DO’
harus memainkan angklungnya. Kalau misalnya tangan si instruktur dimiringkan,
maka orang yang memegang angklung bertuliskan ‘Kalimantan’ alias ‘MI’ harus
memainkan angklungnya. Begitu pula seterusnya. Jadi agar permainan angklungnya
berhasil, masing-masing dari kita hanya cukup melihat isyarat tangan yang
dilakukan oleh sang instruktur.
Tanpa
berpikir panjang, kami pun memulai memainkan angklung. Mula-mulanya sang
instruktur mengetes kami dengan cara memberikan isyarat dari ‘DO’ hingga ‘DO
tinggi’. Setelahnya, barulah sang instruktur benar-benar mengajak kami bermain
angklung dengan menyanyikan lagu barat secara bersama-sama (saya lupa judulnya
tapi yang pasti lagunya familiar). Di sela-sela pertunjukkan angklung, saya,
Adel dan Hielmy sempat berfoto-foto.
Pertunjukkan
angklung masih berjalan. Tapi… ini sih belum seberapa. Ada yang lebih “WOW”
lagi.. Bagaimana tidak, seorang anak kecil bernama Rizky, kira-kira masih SD
kini menjadi instruktur kami dalam permainan angklung! Dengan pakaian khas
Sunda, bocah tampan ini duduk di atas bangku yang diletakkan di tengah-tengah
penonton lalu memberikan instruksi kepada kami. Tidak hanya dengan satu tangan,
bahkan dengan kedua tangannya! Dan kalian tau apa? Lagu yang dimainkan adalah
lagu The Beatles! Keren!! *_*
Ingin
rasanya kami berlama-lama memainkan angklung dan larut dalam kebersamaan ini. Tapi
apa daya, sepertinya waktu yang semakin larut tidak mengizinkan kami untuk
berlama-lama menikmati penampilan ini. Alhasil setelah pertunjukkan usai, kami
pun kembali ke kamar kami masing-masing, kecuali saya yang sebelumnya berkumpul
dengan teman-teman dari Jakarta untuk berdiskusi seputar penampilan yang hendak
kami bawakan pada saat festival budaya nanti.
Setibanya
di kamar, saya bertemu dengan orang baru. Dia adalah Bia, asal provinsi Nangroe
Aceh Darussalam dan Wawa, asal provinsi Sulawesi Tengah. Menariknya, si Wawa
ini masih berusia 9 tahun alias masih kelas 3 SD!
Alhasil,
kamar kami yang semula hanya diisi 5 orang dari provinsi yang beragam, kini
diisi oleh 7 orang dari daerah yang berbeda-beda. So, lengkap sudah kamar 408.
Kini Wawa resmi menjadi teman sekamar 408 termuda dan bahkan peserta FAN 2012
termuda dengan usianya yang masih 9 tahun!
Waktu
terus bergulir. Mulanya kami tidak bisa tidur lantaran Wawa sangat ‘cerewet’.
Di sisi lain, Wawa menjadi hiburan tersendiri bagi kami-kami yang hendak
beranjak dewasa. Namun berhubung malam kian larut dan kami masih memiliki
kegiatan di hari esok, kami pun beristirahat. Dalam tidur kami berharap semoga
hari esok lebih indah dari hari ini. ;)*
Comments
Post a Comment