Nonton? Wah, itu mah gue banget! Gue suka sekali menonton film, terlebih kalau filmnya bagus, antimenstrim, kesempatannya langka dan tentunya gratis. Makanya pas Kalinda ngasih tahu kalau Kedutaan Besar Swedia sedang mengadakan kegiatan pemutaran film Swedia bergenre thriller "Drifters" ("Tjuvheder" versi bahasa Swedia) langsung saja gue konfirm: MAU! Film yang rilis pada 2015 dan disutradari Peter Gronlund ini dibintangi oleh Malin Levanon, Lo Kauppi dan Kalled Mustonen.
Poster film "Drifters" (Dok. Imdb.com) |
Maka jadilah gue dan kalinda daftar. Gue makin kepengen nonton setelah tahu bahwa tempat penyelenggaraan dari acara nobar ini adalah di Swedish Residency alias rumah kediaman Swedia. Gue mikir, "Wah, kapan lagi main ke rumah dubes? Pasti gak sembarangan orang yang bisa masuk!" Enggak apa-apa lah ke rumah dubesnya dan nonton filmnya dulu, siapa tahu nanti bisa ke negaranya langsung *loh?
Btw, gue nonton film gak cuman sama kalinda doang, tapi juga sama Hilman, teman yang selalu sama sekolahnya dari SD, SMP, SMA hingga universitas haha. Gue bagikan info nobar ini di grup Filantropi dan karena dia tertarik, dia pun daftar. Jadilah gue nonton film dengan dua orang yang udah gue kenal sebelumnya: kalinda dan Hilman.
Berhubung lokasi kita berbeda-beda, maka kita bertiga pun berangkat dari tempat yang berbeda pula. Kalinda dari Tangerang karena habis ketemu Bu Uti, Hilman dari rumahnya di Ciledug dan gue dari Galeri Nasional karena kebetulan di waktu yang sama, pada pagi harinya gue lagi menjelajah pameran lukisan "Senandung Ibu Pertiwi" di Galeri Nasional, Jakarta bersama teman-teman kompasiana. Dari halte BI gue turun di Masjid Al-Azhar, sholat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah dubes Swedia. Kediaman dubes Swedia sendiri terletak di Jalan Wijaya Raya, tempatnya para dubes bermukim.
Sekitar pukul 14.00 lewat gue memesan gojek. Hanya berlangsung beberapa menit saja karena jarak yang dekat, gue pun tiba di rumah mantan dubes Swedia. Setibanya di sana gue bertemu dengan Kalinda sedang bersama seorang pengunjung perempuan yang akhirnya gue kenal dia bernama Poppy. Sebelum masuk ke dalam, kita harus menunjukkan tanda identitas beserta bukti konfirmasi kalau kita terdaftar sebagai peserta nobar. Setelah diberikan stiker berisikan informasi kedubes Swedia, barulah kami masuk ke dalam. Sebenarnya ini bukan kali pertama gue masuk ke kediaman duta besar negara asing untuk Indonesia. Gue pernah juga nonton film Denmark di rumah duta besar Denmarknya langsung. Namun setiap kesempatan tentu menawarkan pengalaman berbeda.
Rumah dubes berukuran cukup besar dan luas. Saat masuk ke dalam kami disambut oleh Robert, orang Swedia asli yang bekerja di Kedubes. Lalu kami diminta mengisi absen terlebih dahulu. Tersedia pula buku mini tentang Swedia yang bisa kita ambil di sana. Sehabis itu kami pun bisa masuk ke ruangan tengah dan bisa memilih mau menonton dengan cara lesehan atau duduk di kursi. Kami bertiga kemudian memilih untuk menonton dengan gaya lesehan. Soalnya lebih bebas dan kalau duduk di kursi kealingan sama kepala orang. Saat itu para peserta nobar belum banyak yang datang.
Rumah dubes berukuran cukup besar dan luas. Saat masuk ke dalam kami disambut oleh Robert, orang Swedia asli yang bekerja di Kedubes. Lalu kami diminta mengisi absen terlebih dahulu. Tersedia pula buku mini tentang Swedia yang bisa kita ambil di sana. Sehabis itu kami pun bisa masuk ke ruangan tengah dan bisa memilih mau menonton dengan cara lesehan atau duduk di kursi. Kami bertiga kemudian memilih untuk menonton dengan gaya lesehan. Soalnya lebih bebas dan kalau duduk di kursi kealingan sama kepala orang. Saat itu para peserta nobar belum banyak yang datang.
Satu per satu pengunjung datang kian memadati ruangan tengah, termasuk dengan Hilman. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu, nonton film. Yeay! Namun sebelum dilakukan pemutaran film, pihak kedubes selaku penyelenggara membuka acara terlebih dahulu. Gue kira dubes Swedia langsung yang akan membukanya. Namun ternyata tidak. Pak dubes ternyata sedang pulang kampung ke Swedia. Hiks. Padahal pengen banget selfie sukaesih bareng pak Dubes. :(
Oh ya jujur selama gue menonton film asing, gue belum pernah menonton film Swedia sama sekali. Film asing yang pernah gue tonton antara lain berasal dari Amerika (pastinya), Inggris, Jepang, Korea, Thailand, Denmark, India dan bahkan Singapura. Film Swedia? Wah, belum pernah tuh!
Makanya gue penasaran banget sama film Swedia yang bakal gue tonton saat itu. Gue pengen tahu kayak gimana sih film Swedia? Seperti apa sih ceritanya? Namun berbeda dengan gue, Poppy, teman yang baru ketemu di sana sepertinya sudah khatam sekali dengan dunia perfilman Swedia. Ketahuan karena saat bercakap-cakap soal film Swedia, pengetahuan Poppy sudah di luar kepala. Dia bahkan sampai bisa menyebutkan sutradara Swedia dan film-film Swedia lainnya. Kalau gue mah boro-boro. Nonton film Swedia aja baru kali ini. Haha.
Pembukaan selesai. Kini saatnya kami menonton film berbahasa Swedia dengan subtitle bahasa Inggris. Pertama kali nonton, kesan yang gue tangkap adalah film Swedia berat banget untuk dipahami. Diawali dengan sosok perempuan tengah melakukan kegiatan di dapur, film "Drifters" bercerita tentang seorang wanita bernama Minna, yang hidup dari berjualan obat-obatan terlarang. Enggak dijelasin sih kenapa dia bisa masuk ke lubang hitam kayak gitu tapi yang jelas jalan hidupnya tersebut membuat ia sampai harus main kucing-kucingan dengan polisi. Sejauh manakah ia bisa menjalani hidupnya sebagai penjual obat-obatan terlarang? Nah, itu dia yang diceritakan dari film ini dari awal sampai habis. Gue sudah berusaha memahami alur ceritanya namun setelah gue ikuti alurnya kok yao susah banget ya? Bisa sih tapi perlu pemahaman ekstra dan waktu yang agak lama untuk dapat mengerti poin-poin dari cerita . Terlebih alurnya sangat lamban sehingga saya sempat mengalami kebosanan.
Salah satu adegan dalam film "Drifters" (dok. blog.desistfilm.com) |
Selain itu ekspektasi soal genre film thriller yang ada di benak gue pun seketika buyar karena di bayangan gue kalau film thriller itu identik dengan bunuh-bunuhan, darah dan sejenisnya. Namun di "Drifters" hal seperti itu tidak terjadi. Bisa jadi genre film thriller itu jenisnya luas, tidak terbatas pada aksi bunuh-bunuhan saja. Kayaknya kalau filmnya bercerita tentang ketegangan seorang tokoh film itu akan dicap bergenre thriller. Ekspektasi saya tentang keindahan Swedia juga buyar karena dalam film, ya namanya juga thriller, tidak ada keindahan yang ditampakkan. "Drifters" menguak sisi gelap dari kehidupan di Swedia.
Film ini berlangsung selama kurang lebih 90 menit. Entah sayanya yang gak ngerti film atau bagaimana, film ini bukan film yang "WOW" menurut saya, walaupun di negaranya Drifters mendapatkan penghargaan nasional. Ya maklum, beda negara beda pula pemahaman sih. Bagi orang Swedia, film sejenis ini mungkin yang menjadi favorit. Namun bagi orang Indonesia seperti saya rasanya tidak. Kalau dari kategori tidak suka, kurang suka, biasa, suka dan suka sekali maka saya akan menjawab biasa. Good tapi bukan great.
Usai menonton film, pihak kedubes kemudian mempersilakan kami para peserta nobar untuk menikmati fika. Fika itu bukan nama orang ya, tapi istilah dalam Bahasa Swedia yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris kurang lebih sama dengan coffee break. Katanya, fika adalah kebiasaan yang enggak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Swedia. Satu per satu dari kami bangkit dari tempat duduk masing-masing menuju ruang makan untuk kemudian mengambil cemilan dan minuman yang telah disajikan. Gue pikir semuanya masakan ala Swedia. Ternyata kebanyakan justru makanan Indonesia. Hanya kue kayu manis saja yang khas Swedia. Untuk minuman, selain kopi dan teh juga tersedia jus buah kemasan.
Kalau makanan Indonesia sih sudah biasa. Bagaimana dengan kue khas Swedia yang saya cicipi? Wah, jangan ditanya, kalau kata orang Sunda, "Rasanya enak pisan!" Kayu manisnya itu loh juara banget! Sebenarnya sih pengen bawa pulang semua kue kayu manisnya. Tapi berhubung gue masih punya malu gak jadi deh wkwkw. Jadilah gue hanya mengambil dua buah saja.
Kue kayu manis khas Swedia (dok. Pixabay.com) |
Pukul 17.00 WIB. Ternyata masih ada acara lagi. Rangkaian acara berikutnya adalah diskusi dan tanya jawab. Sejumlah peserta nobar mengangkat tangannya dan kemudian mengajukan pertanyaan. Seru-seru semua. Di sela-sela diskusi gue menyempatkan untuk sholat. Berhubung di rumah dubes tidak ada musholla maka gue memanfaatkan ruangan yang ada di dekat kamar mandi. Bagian depan ruangan itu dapat dimanfaatkan sebagai tempat sholat.
Dari kegiatan diskusi ini ada banyak wawasan baru yang gue dapatkan. Salah satunya adalah ternyata film Swedia rata-rata beralurkan cerita tragis atau sedih. Ada sih film yang senang tapi itu jumlahnya sedikit. Poppy, yang berbagi cerita tentang film Swedia pun berharap jika ke depannya Kedubes Swedia melakukan pemutaran film yang senang-senang.
Usai diskusi dan tanya jawab, pihak penyelenggara mengadakan kuis berhadiah souvenir dengan tiga pertanyaan dan tiga orang beruntung. Pengen banget dapet souvenirnya tapi ternyata belum rezeki. Gapapa deh asal ke Swedianya langsung aja nanti. *maksa*
Usai diskusi dan tanya jawab, pihak penyelenggara mengadakan kuis berhadiah souvenir dengan tiga pertanyaan dan tiga orang beruntung. Pengen banget dapet souvenirnya tapi ternyata belum rezeki. Gapapa deh asal ke Swedianya langsung aja nanti. *maksa*
Namanya blogger tuh gak terhindar dari yang namanya narsis. Mumpung ada di sana, kami bertiga pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama dan sempat bercakap-cakap sebentar dengan orang Swedianya langsung. Tak lupa pula kami meminta peta Swedia untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Setelah itu kami pun pulang ke rumah masing-masing. Kalinda naik gojek sedangkan gue nebeng sama Hilman naik helikopter pribadinya eh salah motor pribadinya.
Berfoto bareng staf kedubes Swedia (dokpri) |
Secara keseluruhan gue suka dengan kegiatan nonton film ini karena benar-benar menambah pengalaman dan pemahaman gue tentang Swedia. Gue berharap ini gak cuman pertama dan terakhir kali, tapi kedubes Swedia bakalan rajin mengadakan kegiatan seperti ini, tak hanya nonton film namun juga kegiatan lainnya. Lomba blog berhadiah ke Swedia, misalnya. Atau mungkin pameran. Atau apa kek. Masukannya, semoga disediakan pula tempat sholat sehingga kaum muslim yang hendak beribadah tidak segan dalam melakukannya dan makanan khas Swedia diperbanyak jenisnya. Haha. Itu aja kok. Biar kayak orang Swedia, gue mau ngomong, Vi "ses senare i Sverige"
Semoga ke depannya Makin banyak Nobar yaa...trutama di rumah dubes..Hohoho...fika nya enak trutama si kue kayu manis. Pilmnya saking beratnya bkin agak mengantuk ya..Tapi seru unik juga pengalamannya..hehehe
ReplyDeleteIyaa fikanya bikin nagih apalagi kue kayu manisnya
DeleteCari kue kayu manis gitu di mana ya? Pingin lagi heuheuh
ReplyDeleteDi Ciledug kali man. Kayaknya ada.
Delete